"Kami sudah menelaah di Marunda itu, kalau saya lihat di Google Earth maupun data yang ada di kami tentang Amdal, kita tidak menemukan industri katakanlah pabrik deterjen," kata Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih, kepada detikcom, Jumat (23/3/2018).
Andono menjelaskan, dalam dokumen Amdal yang mereka pegang, di sepanjang aliran kali BKT Marunda tidak ada industri atau produsen deterjen. Mereka juga melakukan pencarian lewat Google Earth dan tidak menemukan adanya indikasi keberadaan pabrik deterjen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Lantas dari mana busa yang memenuhi kali BKT Marunda? Andono menyebut, dari analisis mereka, busa itu berasal dari limbah rumah tangga yang mengalir ke sungai. Dia mengatakan ada banyak perumahan di sepanjang BKT Marunda.
Baca juga: Busa di BKT Marunda Tidak Membahayakan |
"Selama ini, sudah kondisi berpuluh tahun bahwa air limbah-limbah rumah tangga itu memang dilepas ke saluran yang akhirnya mengalir ke BKT itu. Nah kalau terakumulasi itu kan berarti memang yang ada di BKT itu pasti kandungan deterjennya kan tinggi," ujarnya.
Limbah deterjen itu, lanjut Andono, mengalir ke grojokan yang dia sebut sebagai titik pertemuan air BKT dan air laut yang kemudian menimbulkan buih. "Itu kan seperti kita di mesin cuci, kita aduk kan jadi berbuih," ucapnya.
Munculnya busa sebanyak itu di BKT Marunda menurut Andono karena di permukiman banyak masyarakat berbisnis. Misalnya saja bisnis cuci kendaraan yang pastinya menggunakan sabun atau deterjen.
"Ini bisa di-crosscheck ke kementerian atau dinas terkait bahwa deterjen yang ada di kita ini adalah deterjen yang keras. Deterjen keras itu adalah deterjen yang buihnya banyak karena kandungan, namanya MBAS (Metilen Blue Active Surfactan) itu artinya dia membuat buihnya banyak. Tetapi ini untuk lingkungan sebetulnya kurang ramah. Hanya harganya lebih murah. Kita belum punya deterjen yang ramah lingkungan, artinya yang kandungan MBAS-nya rendah. Standar industri kita masih boleh berbuih banyak," jelasnya panjang lebar.
Masalah lainnya menurut Andono, Jakarta belum mengembangkan sewerage system (sistem pengolahan limbah-red) yang komprehensif. Saluran air di Jakarta masih menyatu dengan aliran air limbah. Berbeda dengan sejumlah negara lain di Asia.
"Di negara yang sudah maju, Jepang dan Singapura, antara drainase dan sewerage system itu terpisah. Air deterjen itu nggak ada di saluran-saluran umum. Sungai maupun selokan itu benar-benar untuk air hujan, jadi nggak akan teraduk jadi buih gitu," ujarnya.
Baca juga: Potret Lautan Busa di Kali BKT Marunda |
Menurut Andono, DKI Jakarta sejak 2012 sudah mengembangkan masterplan sistem pengelolaan air limbah domestik. Di masterplan itu sudah diputuskan di Jakarta akan ada pengolahan air limbah domestik sebanyak 15 zona. Soal progresnya, dia meminta hal ini ditanyakan ke Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta.
"Jadi kalau itu terlaksana air yang dari rumah-rumah kita itu nggak akan masuk ke saluran umum, tapi masuk ke pipa yang akan diolah di 15 zona itu," ucapnya. (zak/hri)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini