Sebagai prajurit rendahan di TNI-AU, penghasilan Bambang tentu jauh dari mencukupi untuk menghidupi keluarga. Karena itu, Nur Saa'dah membantu perekonomian keluarga dengan berjualan rujak, tape, dan donat di rumah. Hadi yang masih duduk di bangku kelas IV SD bertugas untuk belanja bahan-bahan untuk rujak dan mencari singkong untuk dibikin tape.
Kisah tersebut tertuang dalam buku Anak Sersan Jadi Panglima yang ditulis Eddy Suprapto. Rencananya, buku yang diterbitkan Gramedia itu akan diluncurkan hari ini di sebuah kafe di kawasan Sudirman. Sebagai pembahas, selain penulisnya sendiri, adalah Kolonel Wahyu Tjahjadi dan pengamat militer dari LIPI, Jaleswari Pramodhawardani.
Baca juga: Panglima: TNI dan Polri Solid, NKRI Terjaga |
Selain membantu ibu di rumah, setiap hari libur atau Sabtu dan Minggu, Hadi menjadi caddy di lapangan golf kompleks Lanud Abdulrachman Saleh. Lapangan golf itu diperuntukkan bagi orang-orang Jepang atau pejabat tinggi lainnya.
Tentu menjadi caddy bukan pekerjaan ringan bagi bocah seusia Hadi. Bayangkan, dia harus memanggul tas seberat 15 kilogram yang berisi beberapa tongkat golf. Tas seberat itu dipanggulnya sejauh 5-10 kilometer, tergantung jumlah lubang yang dimainkan (18-27 lubang). Selain itu, Hadi juga harus memunguti bola yang terpental ke mana-mana, dan mencuci tongkat golf seusai permainan. Untuk pekerjaan seberat itu caddy biasa mendapatkan upah Rp 200, yang saat itu cukup untuk membeli lima liter beras.
Hadi berhenti menjadi caddy ketika melihat temannya, anak seorang penerbang, ikut bapaknya main golf. "Saya lari menjauh karena malu sekali kalau ketahuan menjadi caddy. Saya kira dia juga pasti akan malu punya teman seorang caddy," kenang Hadi.
Sebagai gantinya, dia full membantu ibunya berjualan rujak. Juga membuat donat yang dilakoninya hingga SMA.
Baca juga: Kontroversi TNI Dilibatkan Tangani Terorisme |
Tak cuma itu. Di buku setebal hampir 200 halaman ini juga dikisahkan kebiasan Hadi mencari telur setiap kali pulang sekolah. Jalur yang ditempuh untuk mendapatkan telur adalah lewat belakang rumah yang merupakan perbatasan antara kebun dan semak liar. Di sana biasanya ada ayam atau entok yang bertelur di semak liar. Kadang Hadi menemukan lima telur, kadang lebih. Telur-telur itu lalu ia bagi, tiga dijual di warung, sisanya untuk makan sehari-hari.
Soal kegigihan sang ibu membantu perekonomian keluarga, Eddy Suprapto mengutip cerita dari Artiningsih Tjahjanti (Naning), adik Hadi. Sang ibu rupanya pernah menjual jatah sepatu baru Bambang untuk membeli beberapa kilogram beras demi kepentingan makan sekeluarga.
"Bapak tanya kepada ibu, di mana sepatu barunya. Ibu dengan santai menjawab bahwa sepatu itu sudah menjadi beras," kata Naning. (jat/jat)