Genteng atapnya pecah dan tidak komplit, sementara sebagian besar dinding rumahnya sudah miring dan disangga dengan bambu dan kayu.
Saat hujan, air masuk dalam ruangan. Kondisi itu juga membuat rumahnya terlihat sangat kumuh. Ditambah dengan perabot yang berserakan di sudut ruangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Ia menceritakan, nasib hidupnya berubah setelah Sujiyono, suaminya sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia 5 tahun lalu. Suaminya adalah seorang wartawan di sebuah perusahaan media di Surabaya, Jawa Timur.
Hasil kerja keras suaminya itu, keluarganya sempat hidup bahagia dengan memiliki rumah yang layak. Apalagi, tuhan telah menganugerahi dua anak yakni Desi Ayuningtyas dan Fajar Aji Yusri Huda (14).
"Tapi, rumah yang kami bangun itu terpaksa saya jual kepada keponakan untuk biaya pengobatan suami. Dulunya, suami saya bekerja menjadi wartawan di Surabaya," ujarnya.
![]() |
Semua uang hasil jual rumah, lanjutnya, habis untuk biaya pengobatan. Hingga akhirnya suaminya meninggal dunia. Desi, anaknya saat ini sudah menikah dan hidup bersama suaminya. Sedangkan Fajar, anak keduanya mengalami gangguan mental.
"Anak saya yang Desi sudah menikah dan ikut suaminya. Kalau Fajar memang lahir tunawicara dan pernah jatuh waktu naik sepeda sehingga ada gangguan pada syarafnya," paparnya.
Rumah yang saat ini ditempati dibeli dari hasil jualan televisi 21 inci peninggalan suaminya.
"Hanya TV 21 inch yang tersisa dan saya jual Rp 600 ribu untuk beli rumah ini," ungkapnya.
Saat ini, rumahnya sudah sangat memprihatinkan. Bahkan ia sendiri tidak berani tidur di rumahnya karena khawatir akan roboh. Terpaksa, ia harus berpindah-pindah menumpang di rumah tetangga atau kerabatnya.
![]() |
"Saya tidak berani tidur di rumah karena khawatir roboh. Pernah ada bantuan berupa sembako, dan Fajar dibawa ke Panti Rehab di Salatiga oleh petugas, saya tidak kenal. Tapi untuk bantuan bedah rumah belum ada," ujarnya sambil menyeka air mata.
Tiap pagi hari, ia pergi ke sawah untuk mengumpulkan sisa gabah hasil panen petani di desanya. Gabah yang dikumpulkan untuk memenuhi makan.
"Alhamdulillah, meski hanya diberi seperti ini tapi saya bersyukur. Tiap hari saya ke sawah mengumpulkan sisa gabah untuk saya makan," tuturnya.
![]() |
Itu dilakukan saat musim panen dan cuaca cerah. Jika hujan, ia pun rela mendatangi tetangga pembuat tiwul untuk dijualkan keliling.
Asiyah tidak kuat menahan tangis. Berulangkali ia menarik nafas panjang setiap akan melanjutkan ceritanya.
"Kalau tidak ke sawah, saya mencari pembuat tiwul dan saya bantu jualkan keliling. Hasilnya buat makan. Alhamdulillah yang penting halal," lanjutnya sambil menyeka air mata.
(sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini