Rumah berukuran 4x8 meter milik janda bernama Dewi (39) ini sudah sangat tak layak untuk dihuni. Terlihat atap rumah mulai bocor dan dinding yang sudah habis termakan usia.
![]() |
Dewi hanya bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah warga dengan upah Rp 550 ribu/bulan. Penghasilan tersebut digunakan untuk kehidupan bersama dua putra dan seorang putrinya.
Suami Dewi, Effendi, diketahui telah meninggal 2 tahun lalu akibat serangan jantung. Semasa hidup, suami Dewi pun hanya bekerja sebagai penggali kuburan di kawasan Kamboja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dikatakan Dewi, saat hujan turun, rumah mereka kerap kebocoran dan banjir. Untuk itu, mereka terpaksa tidur di ruang tamu, yang masih memiliki atap sedikit lebih baik.
Meskipun rumahnya berada di tengah kota dan berjarak sekitar 300 meter dari kantor Camat, kantor Polsek Ilir Timur I, dan kantor KPU Palembang, ternyata itu tidak berdampak pada kehidupan wanita kelahiran Lampung ini.
Bagaimana tidak, di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota metropolitan dan kemegahan pusat pemerintahan di Bumi Sriwijaya, mereka tetap harus 'lembur' saat musim hujan karena seluruh atap rumah bocor dan harus menyelamatkan peralatan rumah tangga.
"Semua bocor Pak, tidak ada yang tidak bocor. Tetapi di ruang tamu ini sedikit saja bocornya, masih bisa ditampung juga pakai ember. Kalau sudah hujan, kami biasanya tidak ada yang tidur karena hujan juga masuk dari dinding sebelah," sambungnya.
Masih ingat dalam benak Dewi, saat 8 tahun silam dirinya harus menempati rumah warisan orang tua Effendi. Rumah yang didapat dari hasil pembagian dan sudah dalam kondisi tidak terawat.
![]() |
Sisi kanan dinding sudah hancur dan hanya ditutup oleh spanduk bekas yang didapat dari jalanan. Sedangkan di bagian depan terlihat jelas pintu yang sudah rapuh dan sulit dibuka karena kerap terendam banjir.
Terlihat rumah berdiri di atas fondasi permanen, tetapi itu hanya untuk menghindari genangan air saat musim hujan. Pada bagian kolong rumah terlihat kumuh karena masih ada air yang tergenang sisa-sisa hujan.
"Sejak suami saya meninggal, kami hanya dapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 500/bulan ribu dan beras 17 kg. Untuk makan dan uang sekolah saja kurang, apalagi mau perbaiki rumah," kata Dewi, dengan mata mulai berkaca-kaca.
Dewi tidak tahu sampai kapan kehidupan mereka akan seperti itu. Harus hidup susah di antara rumah-rumah mewah yang setiap hari dia lihat saat membuka pintu.
Dewi tetap bersyukur karena ketiga anaknya tidak putus sekolah. Ketiga anaknya inilah yang menjadikan Dewi bersemangat bekerja dan berharap dapat mengubah kehidupan mereka pada masa yang akan datang. (asp/asp)