"Problem yang mencuat adalah, selain bertentangan dengan empat putusan MK sebelumnya, dalam putusan ini MK tidak memberikan pertimbangan hukum kenapa putusan tersebut berbeda dengan yang sebelumnya," kata Direktur ILR Firmansyah Arifin dalam diskusi 'Hak Angket DPR atas KPK Pasca-Putusan MK No. 36-40/PUU-XV/2017' di kantor ILR, Jalan Perdatam VI, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (15/2/2018).
Selain itu, Firmansyah mengungkapkan, dalam putusannya, MK tidak menjelaskan sampai mana hak angket tersebut boleh dilakukan terhadap KPK. Untuk itu, pihaknya khawatir putusan tersebut akan memberikan keleluasaan DPR untuk mengawasi KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Problem yang muncul berikutnya adalah putusan itu berkaitan dengan UU MD3. Firman menjelaskan hak angket yang diberikan MK kepada DPR tidak hanya berhenti di KPK.
"DPR dalam melaksanakan hak angket akan melampaui bukan hanya kepada KPK, tapi juga terhadap lembaga-lembaga independen yang lain," ujarnya.
Masalah-masalah yang dapat timbul tersebut, menurut Firman, juga akan merusak sistem ketatanegaraan dan menjadikan DPR lembaga yang superpower. Hal itu, menurutnya, akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah.
"Bisa jadi preseden buruk kalau putusan ini tidak dikoreksi ya atau tetap dibiarkan. Akan menjadi preseden buruk dan kebiasaan. Dalam konteks kita melihat prinsip negara hukum. Begitu menyimpang akan membuat ketidakkonsistenan yang berkepanjangan," tuturnya.
Dalam diskusi ini, hadir juga sebagai narasumber Direktur PUSaKO UNAND Feri Amsari, pengajar STHI Jantera Bivitri Susanti, Indonesian Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun, dan Direktur Kode Inisiatif Veri Junaidi. (rvk/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini