Dua buah vas keramik China kuno setinggi dua meter, juga terpajang untuk mempercantik interior terkesan elegan. Sedangkan di bagian tengah ruangan terdapat 13 kursi model Belanda. Model kursi ini umumnya bisa kita lihat di pengadilan, tempat duduk hakim ketua sidang. Kursi berwarna hijau lumut itu saling berhadapan, masing-masing lima kursi di sisi kanan kiri dan tiga kursi di tengah. Rangka kayunya hitam seperti bukan polesan plitur, namun warna kayu asli jati tua. Di bagian belakang bawah, terdapat tulisan inventaris Kadipaten Blitar tahun 1823.
Di tembok belakang kursi itu, terpajang beberapa koleksi photo tua. Tampak photo semua bupati Blitar, peristiwa Gunung Kelud meletus dan tamu negara yang singgah di pendopo ini. Yang menarik, di rangka pintu kamar kanan, terpatri lempengan baja bertuliskan: Lahar (9-5-1919).
![]() |
"Lempengan baja ini menunjukkan lahar Gunung Kelud yang meletus pada 19-5-1919 ya setinggi ini. Hampir satu meter merendam pendopo ini," jelas pemandu wisata Pendopo Ronggohadinegoro, Harmono (67) kepada detikcom, Senin (12/2/2018).
Karena itulah, saat bupati ke 4 menjabat lalu dibangun gedung bunder sebagai tempat pengungsian. Lalu apakah pada peristiwa letusan Kelud sebelumnya pendopo ini terhindar dari amukan lahar ? Sejarah Blitar mencatat Bupati Blitar ke-3, Kanjeng Pangeran Sosrohadinegoro (1915-1918) mempunyai pusaka bernama pecut Samandiman. Kedahsyatan pusaka ini sangat terkenal sampai sekarang.
"Konon ketika lahar Kelud datang dari arah utara mengalir menuju pendopo, pecut Samandima lalu dilecutkan. Suaranya menggelegar sampai angkasa dan aliran lahar bisa menyibak terbelah menjadi dua dengan sendirinya," ungkap Harmono.
Sayangnya, tak ada satu pun sisa sejarah yang membuktikan kebenaran yang melegenda itu. Fisik pecut tak pernah dijumpai oleh orang lain, selain sang pemilik. "Itu semacam ilmu kanuragan. Kalau bukan pemiliknya yang memanggil, tidak akan datang. Kalau sekarang mungkin seperti senjatanya Power Rangers itu kali ya," ucap Harmono dengan tertawa.
![]() |
Tak hanya pecut, Samandiman sebagai pusaka andalan Kadipaten Blitar pada masanya. Namun beberapa keris yang dipercaya mengandung kekuatan ampuh, masih tersimpan dan terjaga di ruang pusaka. Sayangnya, ruangan itu tertutup pintu tebal dan tak satupun diperbolehkan masuk.
"Hanya pada saat jamasan keris pusaka-pusaka itu dikeluarkan. Dan hanya orang-orang kepercayaan saja yang diizinkan memegang," tegasnya.
Satu hal menarik lainnya, dulu di sekeliling pendopo, dipenuhi patung, arca, artefak dan situs-situs lain peninggalan zaman kerajaan. Namun karena perubahan fungsi gedung, semua peninggalan bersejarah itu dipindahkan ke museum Candi Penataran.
![]() |
Namun, ada satu arca yang selalu kembali ke tempatnya semula, padahal sudah berulang kali dipindahkan tempatnya. Tempatnya di depan sebelah barat pendopo. Arca setinggi 50 cm itu, istimewa tempatnya karena diberi atap peneduh dan dikelilingi pagar besi yang selalu terkunci.
"Ini adalah arca Resi Agatshya gurunya para resi. Kalau di Bali arca ini di mulyakan ," terang Harmono.
Arca berkepala Gajah itu tangan kanan memegang aksamala (tasbih). Sedangkan tangan kiri memegang kendi. Menurut Harmono, kendi itu sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kebajikan.
"Kepercayaan mitologi Jawa menjadikan Resi Agatshya ini sebagai Semar. Karena secara fisik memang menyerupai tokoh pewayangan Semar, yakni perut buncit. Kalau pada sisi spritual di zaman Majapahit menjadi sabdo palon," pungkasnya. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini