Kartu Kuning Jokowi dan Gerakan Mahasiswa Berbasis Riset
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kartu Kuning Jokowi dan Gerakan Mahasiswa Berbasis Riset

Kamis, 08 Feb 2018 15:02 WIB
Raja Dachroni
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ketua BEM UI Muhammad Zaadit Taqwa yang mengacungkan 'kartu kuning' ke Presiden Jokowi memberikan keterangan pers (Foto: Yulida)
Jakarta - Akhir-akhir ini, kita dihebohkan aksi kartu kuning untuk Presiden Jokowi oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa. Mengapa aksi ini cukup viral beberapa hari belakangan, karena memang ada kerinduan tentang aksi-aksi mahasiswa yang cenderung diam dan tidak bergerak. Mahasiswa seolah-olah sudah kehilangan cita rasa gerakannya. Nah, penulis tidak ingin berkomentar lebih jauh bertalian tentang hal itu tapi hanya menawarkan wacana gerakan mahasiswa berbasis riset sesuai dengan kultur yang ada di kampus.

Tak bisa dipungkiri, sejarah runtuhnya rezim otoriter yang memoles di Indonesia adalah buah dari kerja keras dan ikhtiar dari gerakan mahasiswa yang mendorong lahirnya rezim yang lebih demokratis. Namun, seiring perjalanan waktu kini gerakan mahasiswa mulai kehilangan arah. Ada tuntutan akademik yang lebih dominan mereka tunaikan daripada mengawal agenda-agenda permasalahan rakyat.

Boleh dikatakan, gerakan mahasiswa begitu senyap dan kadang terjebak dalam permainan politik elit. Eksistensinya hanya dimanfaatkan sebagai daya pukul kepentingan politik tertentu ketimbang membawa agenda politik kerakyatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlepas dari persoalan ini, sudah saatnya ini menjadi renungan bahwa mahasiswa adalah satu-satunya kekuatan ekstraparlementer yang perlu muncul ke permukaan di kala kondisi bangsa yang nyaris karam. Apakah harus turun ke jalan? Itu mungkin salah satu ikhtiar tapi agar tidak terus bergerak tanpa narasi yang jelas sudah saatnya mahasiswa mampu membangun sebuah gerakan mahasiswa berbasis riset dan mampu mewujudkan arah gerakan yang baru.

Secara umum, ada tiga tren gerakan yang patut menjadi perhatian gerakan mahasiswa kekinian. Pertama, tren/model gerakan intelektualitas. Sebagai kaum yang memiliki kecerdasan dan ketajaman menganalisis suatu persoalan sudah saatnya kiblat pergerakan mahasiswa saat ini berbasis riset dan kajian-kajian ilmiah karena salah satu wujud dari tridharma perguruan tinggi adalah pendidikan dan penelitian.

Kedua, tren/model gerakan jamaah atau pengkaderan. Bukan sebuah gerakan kalau tidak mampu melakukan proses pengkaderan sebab untuk melakukan suatu perubahan diperlukan kerja-kerja berjamaah sebagaimana tersirat dalam Q.S As-Shaff ayat 4, "Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."

Tren terakhir, ketiga, adalah tren atau model gerakan mahasiswa kewirausahaan. Tak bisa dipungkiri, cukup banyak aktivis dan gerakan mahasiswa yang mengorbankan bahkan menjual idealismenya karena mengalami penyakit "kanker" (kantong kering).

Sudah saatnya, dengan kedua modal tren di atas gerakan mahasiswa harus memikirkan kondisi finansialnya dengan model pemberdayaan wirausaha. Cukup banyak peluang yang bisa diambil dengan memanfaatkan kecerdasan intelektual dan pengkaderan, itu adalah modal awal yang kemudian akan mengantarkan gerakan mahasiswa menjadi gerakan yang benar-benar memiliki bargaining position yang cukup tinggi namun bukan untuk "diperjualbelikan".

Berdasarkan tiga tren di atas, penulis tertarik untuk membicarakan tentang gerakan berbasis riset mengingat ujung dari perkuliahan atau salah satu syarat mahasiswa agar lulus menjadi sarjana adalah meneliti dan menuliskan hasil penelitiannya yang sering kita sebuat tugas akhir atau skripsi. Kerap para aktivis gerakan karena sibuk dengan organisasinya sampai terlambat menuntaskan skripsinya, konsekuensi logisnya tidak lulus tepat pada waktunya atau bahkan DO.

Ini yang terkadang membuat miris, bagaimana seorang aktivis gerakan yang selalu mengkritisi upaya zalim rezim terhadap rakyatnya tapi tidak disiplin terhadap dirinya. Nah, jika mahasiswa atau aktivis gerakan mahasiswa menyadari bahwa disiplin ilmunya pada jurusan tertentu itu merupakan bentuk kompetensi atau kemampuannya ke depan.

Sudah saatnya, mahasiswa melakukan riset dari kompetensinya dan riset itu wujudnya bisa saja berupa kontribusi pemikiran dan gagasan mahasiswa terhadap satu fenomena permasalahan sosial. Misal saja, mahasiswa di jurusan pendidikan, nah risetlah tentang kebijakan-kebijakan pendidikan yang zalim dan mencederai rakyat. Tentu sambil meriset sambil bergerak. Sehingga tugas akhirnya atau risetnya menjadi bermanfaat.

Sejarah Pergerakan Mahasiswa

Melihat dari sejarah pergerakan mahasiswa gerakan mahasiswa di Indonesia bisa dibagi dalam empat fase besar; pertama, periode pergerakan nasional (1990-1945); kedua, Orde Lama (1945-1965); ketiga, Orde Baru (1965 – 1998); dan, terakhir periode Reformasi (1999 hingga sekarang).

Dan masing-masing periode punya semangat zaman atau zeitgeist-nya. Meminjam pendapat Arif Novianto dalam catatannya di Indoprogress (25/3/2015), sejarah pergerakan Indonesia tak bisa dilepaskan pada masa perkembangan 1912-1926 atau yang menurut Takashi Shiraishi adalah peristiwa 'Zaman Bergerak'.

Peran para intelektual muda yang membawa gagasan baru dalam dunia pergerakan mengalir deras dalam kesadaran politik rakyat. Zaman pergerakan di Indonesia pada masa itu mulai menampilkan kesadaran politik baru dalam bentuk yang modern dan akrab dengan kita saat ini, seperti surat kabar, rapat, pemogokan, serikat, partai dan ideologi.

Hal tersebut tidak mungkin dapat ditemui dari masa sebelumnya dimana gerakan lebih bersifat mesianistik atau yang dipimpin para feodal dengan cara tradisional.

Kesadaran politik rakyat terbentuk tidak hanya melalui interaksi sosial, namun melalui aktivitas sosial dan aktivitas politik terorganisasi dengan cita-cita untuk merdeka. Mobilisasi massa secara besar telah menciptakan radikalisasi dalam gerakan. Rakyat mulai aktif melakukan berbagai aksi pemogokan dan tuntutan.

Gagasan Marxisme atau sosialisme ilmiah yang dibawa oleh Henk Sneevliet serta Tan Malaka menjadi pijakan penting dalam gerakan. Ketika gerakan kiri diberangus pada pengujung 1926, kekosongan tonggak gerakan diambil alih oleh kelompok intelektual muda nasionalis kiri radikal yang telah terbentuk kesadaran politiknya pada 1920-an, seperti Sukarno dengan PNI dan gagasan Marhenismenya.

Datangnya Jepang hingga kemerdekaan pada 1945 tak bisa dipisahkan dari kekuatan gerakan rakyat ini. Mereka melakukan perang gerilya, mogok, vergadering, aksi massa, berorganisasi, rapat akbar dan berpartai untuk menuntaskan proses revolusi nasional yang anti neo-kolonialisme dan anti neo-imperialisme. Para mahasiswa, pemuda bersama rakyat berupaya menghabisi sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme dengan tuntutan nasionalisasi, land reform dan berdikari.

Namun pada 1965-1967, terjadi penghancuran gerakan revolusi nasional yang hampir 60 tahun telah terbangun. Pelakunya adalah rezim Orde Baru (Orba). Gerakan mahasiswa pada 1965 yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk atas anjuran Mayor Jenderal Syarif Thayib, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada 25 Oktober 1965, adalah gerakan yang berselingkuh dengan Angkatan Darat dalam mendirikan Orba. Setelah Orba tegap memimpin, para pemimpin KAMI banyak yang masuk dalam pemerintahan sebagai timbal jasa. Tentu ada yang tak terserap dan bergerak di luar.

Gerakan mahasiswa pada tahun 1970-an, terjebak pada kerangka gerakan moral. Seperti tokoh dalam gerakan tersebut Arief Budiman, yang menyerukan gerakan Golput atau Golongan Putih terhadap Pemilu yang tak adil.

Gerakan mahasiswa pada masa ini hanya bergulat dengan teori, membuat sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa pernah melakukan gerakan mobilisasi massa serta bergabung dengan massa rakyat yang diisap oleh rezim Orba.

Gerakan mahasiswa pada era akhir 1980-an sampai 1998 mulai belajar dari kekalahan atau kesalahan gerakan sebelumnya pasca 1965, yaitu karena terpisah dari kekuatan rakyat dan mereka tak memiliki basis massa yang kuat dan luas (analisis Danial Indrakusuma, aktivis dan tokoh pendiri PRD).

Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada 1980-an yang berhasil menggulingkan diktator Marcos dengan strategi 'Live-in' (hidup dan berjuang bersama rakyat), maka gerakan mahasiswa pada masa itu melakukan strategi yang sama.

PRD yang terbentuk pada 1994 (diinisiasi oleh mahasiswa, aktivis, buruh, petani dan lainnya) memainkan peran penting dalam kembali menjalankan politik mobilisasi massa dengan cara Live-in di kawasan perburuhan, kawasan pinggiran kota, dan di tengah konflik agraria.

Hingga akhirnya rezim Soeharto menyatakan PRD sebagai partai terlarang dengan menangkap para aktivisnya. Hal tersebut membuat PRD melakukan gerakan bawah tanah dengan membawa bendera berbeda yang mampu mendorong lengsernya Soeharto pada Mei 1998 setelah 32 tahun memimpin. Dari sini muncul gerakan-gerakan seperti KAMMI yang bergerak secara rapi menuntut agenda Reformasi.

Gerakan Mahasiswa di Era Digital

Nah, di era digital saat ini sepertinya sangat mudah melakukan aksi-aksi kontrol sosial. Ada banyak contoh isu atau permasalahan yang terangkat di era digital ini dengan akun-akun media sosial yang dimiliki. Di era digital ini memang ada sisi negatif dan positifnya.

Sisi positif yang bisa diambil gerakan mahasiswa jika sepakat dengan gerakan mahasiswa berbasis riset tadi bisa dimanfaatkan untuk melakukan gerakan-gerakan yang melibatkan banyak pihak dalam melakukan daya kontrol sosialnya.

Artinya, di tengah arus demokrasi yang sedemikian panjang gerakan mahasiswa harus mengambil peran-peran positif di era digital seperti saat ini. Tidak sulit bagi mahasiswa untuk melakukan gerakan dan menguatkan daya kontrolnya kepada pemerintah. Semua orang bisa mendapatkan informasi dengan cepat dan mudah. Nah, semoga gerakan mahasiswa menyadari hal ini. Hidup mahasiswa!

Raja Dachroni Direktur Gurindam Research Centre (GRC)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads