"Kenapa tak dilaporkan, pertanyaan saya simpel?" tanya jaksa Ali Fikri saat sidang perkara suap opini WTP Kemendes PDTT di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2018).
"Pelaporan saya ke LHKPN 8 Februari 2014 sangat mepet dengan pengajuan saya menjadi eselon 1 sehingga data yang sudah komplit yang saya laporkan. Pengajuan saya ke presiden 6 Februari untuk eselon 1 itu belum ajukan LHKPN. Ada dokumen yang belum laporkan," jawab Rochmadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa tidak dilaporkan?" tanya jaksa.
"Saya menyampaikan bahwa ini sudah benar rekening itu tetapi belum lengkap," jawab Rochmadi.
Kepada Rochmadi, jaksa membacakan BAP data LHKPN yang belum dilaporkan tanah bangunan senilai Rp 3,5 miliar. Jaksa kembali mengkonfirmasi hal tersebut.
"Bisa terangkan hasil sendiri, penghasilan?" tanya jaksa.
"Soal tanah pembayaran Rp 3,5 miliar itu pembayaran cash keras dalam 1 bulan pada 2014 karena ada diskon besar. Sebulan kemudian harus lunas dari Rp 3,5 miliar itu Rp 1 miliar pinjam sementara ke Arif dan pinjam ke bank dan begitu cair saya transfer ke Arif. Rp 1,1 miliar lagi dari rekening gaji saya," ujar Rochmadi.
Dalam perkara tersebut, Rochmadi yang merupakan auditor utama keuangan negara III BPK didakwa menerima Rp 240 juta bersama-sama anak buahnya, Ali Sadli. Uang itu diterima dari Jarot Budi Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Irjen Kemendes PDTT.
Dari jumlah uang itu, Rochmadi menerima Rp 200 juta, sedangkan sisanya diterima Ali. Pemberian itu diduga berkaitan dengan penentuan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.
Selain itu, Rochmadi didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 3,5 miliar. Rochmadi juga didakwa melakukan pencucian uang dari nilai gratifikasi itu melalui pembelian sejumlah aset, termasuk mobil Honda Odyssey yang didakwakan jaksa padanya. (fai/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini