Informasi yang diperoleh menyebutkan, pada tahun 2017 ada 308 kasus. Angka ini lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2015 ada 215 kasus, tahun 2013 mencapai 226 kasus.
Untuk menekan angka gizi buruk itu, pihak dinkes setempat akhirnya membentuk sejumlah pos pendamping. Yakni Puskesmas Grujugan, Pujer, Prajekan dan Cermee. Pos itu bertugas memberi pendampingan dalam pemulihan gizi anak.
Humas Dinas Kesehatan Bondowoso, Sugiyanto menjelaskan, persoalan gizi buruk memang kompleks. Karena banyak faktor yang mempengaruhi. Antara lain, faktor ekonomi, pola asuh orang tua yang salah dan sosial budaya.
"Persoalan ekonomi di masyarakat menjadi faktor utama. Konkretnya, bagaimana orang tua akan memberikan asupan gizi yang baik pada anak kalau secara ekonomi tidak mampu," jelas Sugiyanto, saat ditemui di kantornya, Jalan Imam Bonjol, Rabu (31/1/2018).
Sedangkan faktor lainnya, diuraikan Sugiyanto, karena pola asuh kepada anak yang salah. Orang tua kebanyakan hanya mengikuti trend kekinian yang terjadi saat ini.
"Para orang tua saat ini kan lebih suka memberikan makanan-makanan instan. Padahal, secara gizi tidak baik," tandasnya.
Pengertian gizi buruk memang tak bisa selalu diartikan karena kurang gizi. Tapi kelebihan gizi yang kemudian berdampak pada kesehatan anak juga bisa disebut gizi buruk. Misalnya, anak mengalami obesitas karena asupan gizinya berlebihan.
Data lain yang didapat di Dinkes Bondowoso, dari hasil Pemantauan Status Gizi 2017 Jawa Timur, angka stunting di wilayahnya mencapai 16,47 persen dari total 170 batita (Bayi di bawah tiga tahun). (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini