"Kalau dilihat putusan yang menguji ambang batas atau presidential threshold, kami selaku pemohon melihat bahwasanya MK tidak yakin dengan keputusannya. Jadi logika yang dibangun, menurut kami, jauh dari logika konstitusi atau UUD 1945," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (11/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"MK seperti pengamat politik bicara soal presidential rasa parlementer. Lalu kemudian bicara penyederhanaan partai atau tidak fokus berkaitan dengan argumen konstitusional yang ingin dibangun berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden. Jadi MK sama sekali tidak menyentuh soal rasionalitas dan relevansi ambang batas pencalonan presiden terkait dengan keberadaan Pasal 6a UUD 1945, termasuk juga penggunaan suara atau kursi dari pemilu sebelumnya," ujarnya.
TIti justru menilai pendapat hakim Suhartoyo dan Saldi Isra-lah yang dapat diterima. Hal serupa dilontarkan Effendi Gazali selaku pemohon.
"Saya bahagia, terutama karena mendengar dua dissenting tadi karena mereka berdua tidak menemukan nalar dari penolakan ini," ujar Effendi.
Bahkan dia kecewa karena MK tidak mempertimbangkan permohonannya karena pertimbangan MK lebih kepada permohonan Partai Idaman. Menurutnya, dia tidak terima jika hak suaranya saat Pemilu 2014 dipakai untuk kepentingan penentuan ambang batas.
"Ini menarik karena perkara yang mendahului itu yang diajukan Partai Idaman jadi struktur pembahasan MK itu lebih banyak yang diajukan Partai Idaman, sama sekali tidak menyinggung permohonan saya. Saya ajukan begini saya menanyakan, Pak Hakim dan Bu Hakim, waktu saya memilih pada pemilu legislatif 2014 kan saya tidak dikasih tahu bahwa suara saya akan dipakai jadi presidential threshold 2019, ada tidak MK yang boleh menyalahgunakan dari warganya, kan waktu milih tidak dikasih tahu, setelah keluar hak pilihnya bilang itu boleh nanti kita pakai jadi presidential threshold, lama-lama ntar bisa jadi presiden seumur hidup," kata Effendi.
Sementara itu, pemohon lainnya, mantan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, yang juga pemohon, mengaku setuju dengan pendapat dissenting opinion kedua hakim konstitusi. Menurutnya adanya ambang batas itu menjadi tidak adil bagi peserta pemilu sehingga tidak ada banyak calon presiden karena harus memenuhi syarat suara.
"Saya menikmati pembacaan dissenting tadi, itu menurut saya. Jadi ya akhirnya MK pilih berapa persen suara. Kita punya suatu sistem yang menurut saya secara bahasa bertentangan dengan konstitusi, tapi secara susbtansinya itu sebenarnya sistem yang tidak terbuka, tidak adil," papar Effendi.
Hadar mengatakan, dengan adanya presidential threshold tersebut, nantinya tidak akan ada banyak pilihan calon presiden yang akan dipertimbangkan rakyat. Jika permasalahannya untuk menghemat agar tidak ada putaran kedua, menurutnya, dalam pemilu pasti ada putaran kedua sehingga besarnya anggaran menjadi risiko.
"Negara kita besar, jadi kalau kita butuh biaya yang banyak ya nggak usah terlalu dimasalahkan karena itu risikonya kalau itu dipisah-pisahkan kualitasnya turun," tutup Effendi. (yld/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini