"Beliau adalah seorang pejuang tangguh sejak masa mudanya. Saya masih kecil, saat beliau sering ke Yogya dan menginap di rumah. Saat itu beliau sudah dikenal sebagai tokoh PII (Pelajar Islam Indonesia)," kata Anies, Kamis (14/12/2017).
"Kami sangat berduka atas wafatnya Dr (HC) AM Fatwa. Beliau adalah politisi pejuang yang sangat konsisten, tegas, dan berkarakter. Kita kehilangan sosok yang dapat dijadikan teladan bagi politisi muda seperti saya," ujar Ace di tempat berbeda.
Baca juga: AM Fatwa Dimakamkan di TMP Kalibata
Seperti apa sebenarnya sosok AM Fatwa?
AM Fatwa lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada 12 Februari 1939. Dia dikenal sebagai sosok yang kritis, baik terhadap pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru. Akibat sikap kritisnya itu, tak jarang Fatwa sering mendapatkan ancaman teror, bahkan tindak kekerasan.
Pada 1957, saat menjadi mahasiswa di IAIN Ciputat, Fatwa aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia sempat menjadi Ketua cabang HMI Ciputat dan PB HMI.
Pada 1963, Fatwa, yang menjadi anggota Dewan Mahasiswa Jakarta, terlibat demonstrasi di kampusnya menolak kebijakan rektor IAIN dan Menteri Agama. Oleh pemerintahan Presiden Sukarno, yang saat itu tengah kuat-kuatnya, demonstrasi tersebut dianggap merongrong wibawa pemerintah.
AM Fatwa dan Dewan Mahasiswa Jakarta dianggap mengganggu persiapan Ganefo dan konsentrasi pemerintah yang tengah berkonfrontasi dengan Malaysia. Fatwa dan beberapa teman ditangkap dan sempat ditahan aparat sampai Presiden Sukarno lengser.
Baca juga: https://news.detik.com/berita/d-3770210/kenangan-sang-putri-temani-hari-hari-terakhir-am-fatwa
Saat Presiden Soeharto menjabat, AM Fatwa bebas begitu saja tanpa proses persidangan. Sempat mendukung pemerintahan Soeharto, AM Fatwa kemudian banyak mengkritik Orde Baru karena dinilai banyak menyimpang.
Dia pun kembali ke dunia aktivis dengan tetap aktif ikut berbagai demonstrasi mengkritik pemerintahan Presiden Soeharto. Selain lewat orasi ketika demonstrasi, Fatwa menyampaikan kritik melalui khutbah Jumat.
Pada 1978, AM Fatwa ditahan di Yon 202 dan RTM Guntur karena terlibat bersama Gerakan Dewan/Senat Mahasiswa serta Ormas Extra Universiter, mengkritik kebijakan Pemerintah Orba. Mereka mengkritik Orba yang semakin otoriter dan memanfaatkan kekuatan ABRI untuk membungkam kelompok-kelompok kritis.
Pada 12 September 1984, AM Fatwa ditangkap dalam kasus lembaran putih peristiwa Tanjung Priok. Dia ditangkap lantaran khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru.
Pengadilan ketika itu menjatuhkan vonis 18 tahun penjara. Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni penjara seumur hidup. AM Fatwa efektif menjalani hukuman selama 9 tahun dan setelah itu dia mendapatkan amnesti.
Pada 1993-1999, AM Fatwa menyandang status narapidana bebas bersyarat. Dia kemudian menjadi staf khusus Menteri Agama Tarmizi Taher dan Quraish Shihab. Mantan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama Amien Rais menggulirkan gerakan reformasi yang menyebabkan Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
AM Fatwa juga pernah menjadi staf khusus Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk bidang politik dan agama. Setelah Soeharto tumbang, Fatwa bersama Amien Rais mendeklarasikan Partai Amanat Nasional.
Melalui PAN, AM Fatwa terpilih sebagai Wakil Ketua DPR RI (1999-2004) dan Wakil Ketua MPR RI (2004-2009). Untuk periode 2009-2014, dia terpilih sebagai anggota DPD RI. Dalam pemilihan legislatif 2014-2019, AM Fatwa kembali terpilih sebagai anggota DPD.
Pada 14 Agustus 2008, Fatwa mendapatkan anugerah tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana di Istana Negara. Pada 29 Januari 2009, ia memperoleh Award Pejuang Anti Kezaliman dari Pemerintah Republik Islam Iran yang disampaikan oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad di Teheran.
AM Fatwa meninggal pada Kamis pagi tadi di Rumah Sakit MMC, Jakarta, setelah menjalani perawatan selama beberapa hari. Jenazahnya akan dimakamkan sore ini di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Selamat jalan, Pak Fatwa, pejuang tangguh! (erd/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini