Adalah mantan Ketua KPK Abraham Samad yang belakangan sering muncul kembali ke publik. Terakhir, Samad mengkritik sikap Novanto yang meminta perlindungan terkait kasus itu. Samad melihat sikap itu sebagai upaya memperlambat proses penyidikan.
"Menurut saya, Novanto harus taat mengikuti semua prosedur yang sudah ditetapkan oleh KPK. Karena kalau tidak, Novanto bisa dikatakan memperlambat proses penyidikan, itu bisa dikatakan mengulur-ulur waktu atau obstraction of justice," kata Samad saat dihubungi melalui telepon, Senin (20/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Novanto sebagai Ketua DPR memberikan contoh kepada warga negara yang taat hukum dengan tidak melakukan manuver-manuver. Kita tahu dan dia juga bisa memahami kasus yang sedang melilit dirinya adalah kasus korupsi dalam hal ini sudah ditemukan alat buktinya oleh KPK dan, oleh karena itu, dia tidak lagi seharusnya melakukan langkah-langkah yang kontraproduktif, seperti meminta bantuan polisi, karena itu langkah yang tidak produktif," jelas Samad.
Samad pun mendukung KPK yang akan menghadapi praperadilan melawan Novanto lagi. Menurutnya, KPK sudah mengantongi bukti kuat untuk menjerat Novanto.
"Saya sangat yakin sejak kasus pertama yang praperadilannya KPK dikalahkan, saya sangat yakin bahwa sebenarnya KPK punya alat bukti begitu kuat untuk menjerat Setya Novanto. Tapi ada problem di luar hukum yang menurut saya kadang-kadang di luar dugaan kita sehingga pada saat itu KPK mengalami kekalahan," ucap Samad, Senin (27/11).
Guna mengantisipasi kejadian serupa, Samad kemudian mengimbau pengawasan publik yang lebih ketat dalam praperadilan kedua yang akan digelar pada 30 November besok. Samad menduga persidangan tidak adil jika KPK kembali kalah.
"Kalau KPK kalah kali ini, maka saya juga berkeyakinan bahwa persidangan tidak berlangsung fair dan adil," katanya.
Selain itu, Samad mendesak KPK menerapkan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada Novanto. Ada 3 tujuan utamanya.
"Tujuan pertama, bahwa kerugian negara yang begitu besar itu bisa dimaksimalkan pengembaliannya," ucap Samad.
"Kemudian yang kedua, kalau kita menggunakan UU TPPU, maka itu bisa terlihat nanti siapa-siapa saja yang bertindak sebagai guide keeper, yang menampung uang-uang dari hasil korupsi itu," lanjutnya.
Sedangkan yang ketiga, untuk memudahkan pelacakan siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Dari situ pihak terkait juga lebih mudah dimintai pertanggungjawaban.
Hal serupa pernah disampaikan kolega Samad yang juga eks pimpinan KPK, Bambang Widjojanto (BW). "KPK juga harus mulai mengantisipasi potensi fight back yang akan dilakukan oleh SN dengan seluruh kekuatan jaringannya, khususnya dalam konteks hukum," ucap BW.
BW juga meminta KPK mengembangkan dugaan TPPU. Tindak pidana ini, menurutnya, kerap berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
"KPK diusulkan untuk mengembangkan dugaan kejahatan pencucian uang yang biasanya berkaitan dengan tipikor," ucap dia.
KPK telah menetapkan status Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Novanto selaku anggota DPR disangka bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi terkait proyek yang disebut merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun.
Terhadap Novanto, diterapkan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Novanto kini mendekam di Rutan Kelas I KPK Cabang Jakarta Timur atau di gedung baru KPK. Dia menjalani masa 20 hari tahanan terhitung sejak 19 November 2017. (dhn/hri)











































