Hal itu merupakan satu dari tiga hasil Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember, dan Pusako Universitas Andalas di Jember pada 10-13 November 2017.
"Keterpisahan atau dualisme kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan oleh dua lembaga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam kenyataannya menimbulkan konflik kelembagaan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak akan mampu menciptakan sinkronisasi, harmonisasi, dalam rangka penataan regulasi," kata salah satu peserta konferensi Dody Nur Andriyan kepada detikcom, Selasa (14/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan yang dijadikan satu atap di MK akan memudahkan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan dari tingkat atas sampai tingkat peraturan yang paling bawah dan aplikatif," cetus Dody.
"Dengan demikian, penataan dan penyederhanaan regulasi tetap memiliki tujuan, arah, dan koridor yang jelas sesuai dengan konstitusi UUD 1945," sambung dosen hukum tata negara dan peneliti Pusat Kajian Konstitusi dan Kebijakan Daerah Institut Agama Islam Negeri Purwokerto itu.
Menurut Dody, MK tidak bisa berfungsi sebagai lembaga yang mengawal dan menegakkan konstitusi secara penuh dan tuntas. Hierarki norma dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sepenuhnya bisa diimplementasikan secara integral jika MK 'hanya' diberi kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
"Oleh karenanya, sangat perlu untuk memberikan kewenangan satu atap kepada MK untuk melakukan pengujian peraturan perundangan-undangan," pungkas Dody. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini