"Konflik akibat sosialisasi tentang UU Pilkada, peraturan Bawaslu, dan peraturan KPU yang kurang," ujar Lukman dalam diskusi 'Potensi Konflik Pilkada Serentak Tahun 2018' di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
Ia mengatakan kurangnya sosialisasi menimbulkan kurangnya pemahaman terhadap UU Pilkada. Menurutnya, sosialisasi harus terus dilakukan secara masif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ternyata kekurangpahaman terhadap UU Pilkada Bawaslu dan peraturan KPU bukan saja terjadi di tingkat masyarakat, di tingkat pelaksanaan pemilu juga kurang paham," ujar Lukman.
"Kami menemukan petugas pelaksana Bawaslu di daerah, terutama pada level kabupaten/kota ke bawah, itu memerlukan sosialisasi yang masif," sambung politikus PKB itu.
Selain itu, konflik dapat terjadi akibat keterlibatan aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri yang mendukung salah satu pihak. Baik dalam pilkada serentak maupun pemilu.
"Konflik akibat keterlibatan ASN (aparatur sipil negara), keterlibatan TNI dan Polri. Keterlibatan ASN juga sudah ada rambu-rambu yang di UU Pilkada. Tetapi peraktiknya terus dijalankan sampai sekarang," kata Lukman.
Potensi lain yang dapat menyebabkan konflik, disebutnya, adalah adanya politik uang dalam pilkada. Seperti praktik jual-beli suara di TPS dan pemberian sembako.
"Konflik akibat politik uang, baik itu membeli suara secara eceran maupun membeli suara grosiran," kata Lukman.
Tidak hanya itu, Lukman juga mengatakan pelanggaran dalam kampanye juga dapat mengakibatkan terjadinya konflik. Salah satunya dengan penggunaan isu SARA dan bullying pada partai tertentu.
"Konflik akibat pelanggaran kampanye, pelanggaran pelanggaran kampanye menggunakan isu SARA, apalagi di era sosial, saya kira ini yang pasti akan terjadi," ujar Lukman. (elz/elz)