"Pagi ini sekitar pukul 08.00 WIB bagian persuratan KPK menerima surat dari Setjen dan Badan Keahlian DPR RI terkait dengan pemanggilan Ketua DPR-RI, Setya Novanto sebagai saksi untuk tersangka ASS (Anang Sugiana Sudihardjo) dalam kasus E-KTP," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Senin (6/11/2017).
Surat tertanggal 6 November 2017 ini tertulis dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR-RI, serta tanda tangan dari Pelaksana tugas (Plt) Sekjen DPR Damayanti. Terdapat 5 poin isi surat yang disampaikan antara lain:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Dalam surat dicantumkan nama Setya Novanto, pekerjaan Ketua DPR RI, alamat, dll;
3. Diuraikan ketentuan di Pasal 245 ayat (1) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang mengatur:
Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Kemudian diuraikan Amar Putusan MK No 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015 (Poin 1 dan 2 (2.1, 2.2, dan 2.3)).
Ditegaskan juga berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan pemanggilan terhadap anggota DPR yang bersangkutan.
4. Oleh karena dalam surat panggilan KPK ternyata belum disertakan Surat Persetujuan dari Presiden RI, maka dengan tidak mengurangi ketentuan hukum yang ada, pemanggilan terhadap Setya Novanto dalam jabatan sebagai Ketua DPR RI dapat dipenuhi syarat persetujuan tertulis dari Presiden RI terlebih dahulu sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku termasuk Penyidik KPK.
5. Berdasarkan alasan hukum di atas, maka pemanggilan terhadap Setya Novanto sebagai saksi tidak dapat dipenuhi.
Sementara itu, mengenai aturan pemanggilan ini memang diatur dalam UU UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Sebelumnya, dalam Pasal 245 ayat 1 UU MD3, pemeriksaan terhadap anggota dewan seizin MKD, tetapi MK mengubahnya menjadi seizin presiden. Berikut bunyinya:
Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Namun Pasal 245 ayat 3 belum diubah oleh MK. Pasal tersebut berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus. (nif/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini