Ke Mana MA Setelah Berkali-kali OTT KPK

Ke Mana MA Setelah Berkali-kali OTT KPK

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 10 Sep 2017 15:55 WIB
Dewi Suryana (agung/detikcom)
Jakarta - KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada aparat Mahkamah Agung (MA). Kali ini hakim PN Bengkulu, Dewi Suryana yang harus meringkuk di dalam sel karena diduga jual beli perkara.

"Reformasi peradilan saat ini bisa dibilang di tengah persimpangan jalan," kata Direktur Puskapsi Universitas Jember, Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Minggu (10/9/2017).

Jalan yang satu mengharuskan reformasi peradilan yang sudah digariskan dalam UUD 1945 setelah perubahan, TAP MPR, UU maupun Cetak Biru Pembaruan Peradilan. Sementara jalan yang lain, kata Bayu menegaskan, adalah reformasi hanyalah menjadi jargon pemanis tanpa menyelesaikan persoalan pokok pengelolaan badan peradilan yaitu darurat integritas aparat pengadilan di semua tingkatan yang terjadi selama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sikap pimpinan MA yang masih terus berkilah dengan kata 'oknum', sesungguhnya adalah upaya cuci tangan," cetus Bayu.


Menggunakan kata 'oknum' justru dapat dimaknai MA sedang menyampaikan pesan kepada bawahannyaandaikata mereka melakukan tindakan tercela maka itu adalah urusan pribadi. Pendekatan 'oknum' inilah yang menyebabkan perbuatan tercela oleh aparat pengadilan senantiasa berulang hingga saat ini.
Ke Mana MA Setelah Berkali-kali OTT KPK

"Pendekatan yang menyederhanakan permasalahan aparat pengadilan yang melakukan perbuatan tercela sebagai tindakan oknum inilah yang telah meninabobokan pimpinan MA untuk secara sungguh-sungguh mencegah berulangnya kembali perbuatan tercela ini. Akibatnya setiap kali sehabis pimpinan MA menyatakan perilaku tercela ini sebagai perilaku oknum maka seringkali kemudian diikuti dengan peristiwa susulan tertangkapnya kembali hakim atau aparat pengadilan karena melakukan perbuatan tercela," papar Bayu.

Menurut Bayu, reformasi peradilan yang jalan di tempat ini sesungguhnya membutuhkan kejujuran dan kebesaran hati pimpinan MA untuk mengakui ada persoalan serius dalam pengadilan Indonesia. Untuk itulah perlu diubah pola pendekatan dalam menyelesaikan persoalan darurat integritas hakim dan aparat pengadilan.

"Dari pendekatan bahwa persoalan ini merupakan urusan domestik MA dan badan peradilan di bawahnya menjadi pendekatan bahwa ini persoalan seluruh bangsa Indonesia yang penyelesaiannya butuh peran serta lembaga lain seperti Presiden, Komisi Yudisial, KPK, Ombudsman, maupun lembaga-lembaga lainnya," ujar Bayu.

Sementara itu Ketua Bidang TPK dan TPPU Peradi, Alvon Kurnia Palma mempertanyakan fungsi panitera pengganti dalam sistem peradilan. Sebab, acapkali alur suap terhenti di panitera pengadilan, seperti kasus Santoso atau Rohadi.

"Jika hanya untuk mencatat proses sidang menjadi minutasi persidangan kenapa nggak diganti mesin saja dan kemudian dapat dialihbentukan jadi notulen sidang yang masuk dalam komponen putusan dan pertimbangan hakim?" kata Alvon.

Berdasarkan catatan Alvon, ada 28 kasus korupsi yang menyeret orang pengadilan, 8 di antaranya dilakukan panitera.

"Dengan demikian, panitera penganti dihilangkan saja dan mereka akan menjadi staf panitera yang akan membantu pembaharuan lembaga sekaligus aktifitas teknis pemberkasan administrasi perkara seperti pendistribusian, penomoran perkara, penetapan pengeledahan, penyitaan dan lain-lain yang memang sangat tehnis," ucap Alvon. (asp/dha)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads