Penasihat Keamanan Nasional Myanmar Thaung Tun mengatakan, Myanmar bergantung pada China dan Rusia yang merupakan anggota tetap DK PBB dan memiliki hak veto, untuk menggagalkan setiap resolusi PBB soal krisis Rohingya.
"Kami sedang bernegosiasi dengan beberapa negara sahabat agar tidak membawa itu (krisis Rohingya) ke Dewan Keamanan," tuturnya kepada para wartawan dalam konferensi pers di Naypyitaw.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Sekjen PBB Antonio Guterres mengirimkan surat kepada DK PBB yang menyatakan kekhawatiran bahwa kekerasan di Rakhine bisa berkembang menjadi "bencana kemanusiaan". Pemimpin badan dunia itu pun mengingatkan risiko terjadinya pembersihan etnis di Myanmar yang bisa mengganggu kestabilan wilayah.
Situasi di negara bagian Rakhine semakin memprihatinkan setelah pada 25 Agustus, bentrokan kembali pecah antara militer Myanmar dengan militan Rohingya atau ARSA. Militer Myanmar melancarkan operasi untuk memburu para militan Rohingya yang menyerang pos-pos polisi dan pangkalan militer.
Operasi militer yang dilaporkan sarat kekerasan terhadap warga sipil itu, dilaporkan telah menewaskan 400 orang dan memicu eksodus warga Rohingya. Otoritas Myanmar menegaskan pihaknya memerangi teroris dengan cara yang legal. Mereka menuding militan Rohingya yang mendalangi pembunuhan warga sipil dan membakar rumah-rumah warga. Namun menurut pemantau HAM dan keterangan pengungsi Rohingya, militer Myanmar adalah dalangnya.
Selama lebih dari 12 hari terakhir, lebih dari 100 ribu warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh. Juru bicara Badan Pengungsi PBB, UNHCR, Vivian Tan menyatakan kamp pengungsian di Bangladesh mulai mencapai kapasitas penuh dan diperlukan lokasi baru untuk kamp pengungsian lainnya.
(ita/ita)