Saat itu, PN Jaksel disidak oleh pimpinan Mahkamah Agung (MA) termasuk Artidjo Alkostar yang melakukan penyamaran. Mereka pun membongkar adanya makelar kasus (markus) di pengadilan.
"Jadi ada pegawai senior di sini atas nama US dan H. US ini pegawai senior di sini," kata humas PN Jaksel Made Sutrisna saat berbincang dengan detikcom di ruang kerjanya, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (14/6) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semacam jasa untuk mengurus surat surat yang berkaitan dengan pengadilan," ujar Made.
Adapun kolega US, H dihukum lebih ringan. Ia hanya dikenakan sanksi penundaan kenaikan gaji. Modus H mirip dilakukan US, hanya saja derajatnya lebih ringan dari US. H mengaku bisa membantu mengurus berkas di pengadilan, padahal ia pegawai pengadilan sendiri.
"Itu jadi rusak nama pengadilan karena dijual-jual," kata Made.
Made menegaskan aksi para PNS pengadilan itu tidak sampai ke meja hakim. "Nggak (sampai mengatur majelis). Ini pegawai, staf juru sita hanya mencari dan menjual jasa saja untuk memperlancar itu, dia buat kartu nama seolah-olah pengacara dan punya akses yang bagus ke pengadilan," papar Made.
Seolah tak kapok, pegawai di PN Jaksel kembali berulah. Kali ini panitera pengganti di PN Jaksel bernama Tarmizi diciduk KPK karena menerima suap.
Dia menerima suap dari seorang pengacara bernama Akhmad Zaini untuk mengurus gugatan perkara perdata terhadap PT Aquamarine Divindo Inspection (ADI) yang memberikan kuasa pada Akhmad. Keduanya pun bersiasat dengan menggunakan sandi 'sapi' untuk uang ratusan juta rupiah dan 'kambing' untuk uang puluhan juta rupiah.
Tarmizi pun mendapatkan Rp 425 juta untuk mengurus agar gugatan terhadap PT ADI ditolak. KPK pun menetapkan keduanya sebagai tersangka. Tak berapa lama, KPK juga menetapkan Direktur Utama PT ADI Yunus Nafik sebagai tersangka. (dhn/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini