Bom Barcelona dan Kompleksnya Fenomena Terorisme
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bom Barcelona dan Kompleksnya Fenomena Terorisme

Senin, 21 Agu 2017 15:50 WIB
Denny JA
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Andhika Akbarayansyah/detikcom
Jakarta - Pada 2013, Hillary Clinton menonjol sebagai calon presiden Amerika Serikat. Saat itu ia mengungkapkan sesuatu yang membuka mata publik luas. CNN menyiarkannya. Dunia pun tetap bisa menontonnya melalui Youtube.

"Jangan lupa," ujar Hillary, "terorisme yang kini kita perangi, kita ikut membiayainya 20 tahun lalu. Kita rekrut mujahidin, kita biarkan mereka datang dari Arab Saudi dan negara lainnya untuk mengimpor paham Wahabi. Kita gunakan mereka untuk mengalahkan Uni Soviet."

Setiap kali mendengar terjadi bom meledak, apalagi jika pelakunya dilabel dari Islam garis keras, kita menyadari, realitas sesungguhnya dari terorisme itu tak lagi sederhana. Betapa kejadian sebuah serangan teroris itu acapkali hanya serpihan dari jejak yang lebih kompleks.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terorisme tak hanya masalah paham radikal. Tapi, ia juga warisan pertarungan geopolitik negara besar, bisnis senjata, persaingan di kubu teroris sendiri, tumbuhnya para amatir yang punya akses membuat bom, serta psikologi individu pelaku dengan halusinasi yang berbahaya.

***

Jumat, 18 Agustus 2017, sebuah mobil van meledak di Las Ramblas, Barcelona. Ketika esai ini ditulis, dilaporkan 14 orang mati, dan lebih dari 100 orang luka. Bom itu meledak di wilayah turisme. Yang menjadi korban termasuk wanita dan anak-anak dari 30 negara.

Saya terhentak membacanya. Baru dua minggu lalu saya dan keluarga di Barcelona selama 5 hari. Hotel saya, El Palace hanya berjarak 8 menit ke area itu.

Las Ramblas memang pedestrian yang asyik bagi turis. Di kanan kirinya banyak kafe dan toko menjual souvenir. Di ujung jalan, berdiri patung Christoper Columbus setinggi 60 meter. Walau Columbus kelahiran Italia, namun waktu ia menemukan Amerika, ia bekerja untuk kerajaan Spanyol.

Setiap hari ketika di Barcelona saya melewati wilayah itu. Turis manca negara yang datang ke Barcelona menjadikan Las Ramblas satu kunjungan favorit.

Itu pula yang rupanya ada di benak teroris. Mereka memilih target yang mudah. Jika menyerang area militer, sulit bagi mereka untuk sukses.

Tapi, di area sipil, di ruang publik terbuka, mudah sekali membuat serangan yang berhasil. Cukup dikerjakan oleh amatir, sejauh bisa membuat bom, serangan sudah mematikan dan mendapatkan berita dunia. Semakin banyak warga negara dunia menjadi korban, semakin berita itu mendunia.

Independet melaporkan betapa eksekusi ledakan Barcelona terasa amatiran. Dalam rencana, para pelaku ingin membuat efek lebih besar dengan serangan berkali-kali.

Fenomena terorisme kini semakin beragam dan kompleks. Tak semua serangan teror bagian dari konspirasi besar yang terlatih. Bahkan kini semakin banyak teror yang dikerjakan amatiran oleh pribadi yang sakit secara kejiwaan. Tak semua terorisme dilakukan dengan tujuan politik. Banyak pula yang dilakukan hanya sebagai ekspresi grup individu dengan aneka halusinasi.

***

Perang melawan terorisme bergerak maju. Kita sambut baik inisiatif Kongres Amerika yang akan melahirkan sebuah aturan yang disebut SATA (The Stop Arming Terorists Act). Aturan ini dimajukan oleh anggota konggres Partai Demokrat: Tulsi Galbart.

Galbart menyatakan, "Kita sudah menghabiskan miliaran dolar untuk membiayai perubahan politik di Timur Tengah. Sementara di Hawai (Amerika Serikat), warga kekurangan rumah, dan infrastruktur yang tak lagi layak. Kita butuh dana untuk pendidikan, kesehatan, dan lainnya."

Aturan ini akan melarang (membuat ilegal) praktik politik Amerika Serikat sebelumnya. CIA atau lembaga Amerika mana pun akan dianggap melanggar hukum jika menggunakan dana Amerika Serikat (tax payer's money) untuk membiayai aneka gerakan yang bisa diklasifikasikan sebagai terorisme.

Terorisme kini kehilangan sponsor utamanya yang paling powerful. Layak diduga jika dulu pemerintah Amerika Serikat ikut membiayai terorisme, pemerintah negara lain potensial melakukan hal yang sama.

Jika Amerika Serikat berubah, akan melarang membiayai terorisme, kita belum mendengar kebijakan negara sponsor lainnya.

***

Al-Qaedah dan ISIS awalnya juga sebuah proyek politik. Negara besar seperti Amerika Serikat ikut menumbuhkannya, walau kini berbalik ingin menghancurkannya.

Yang kini rumit, baik Al Qaedah ataupun ISiS sudah terlanjur mengkader begitu banyak teroris. Mereka terlatih membuat senjata. Mereka terlatih bekerja dengan jaringan. Mereka sudah terdoktrin mendapatkan makna hidup dengan membunuh.

Mereka kini seperti anak ayam kehilangan induk. Sebagian dari mereka menyebar pergi ke aneka wilayah dunia, dengan kreativitasnya sendiri. Bahkan antarmereka juga bersaing berebut pengaruh di sebuah teritori.

Sementara, ideologi kekerasan dengan membajak ajaran Islam sudah pula tersebarkan. Bahkan sudah tumbuh pula individu yang tak terkait langsung dengan ISIS atau Al-Qaedah tapi diromantisasi oleh ideologi kekerasan itu.

Tak heran, kini semakin banyak aksi teror yang amatiran. Namun, karena yang mereka gunakan adalah bom atau senapan, walau amatiran, tetap saja serangannya membuat banyak orang mati. Fenomena terorisme kini memang lebih kompleks.

Denny JA Direktur Lingkaran Survei Indonesia
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads