Dewan mengajukan bujet Rp 7,25 triliun untuk tahun anggaran 2018. Nilai itu naik 70 persen dari anggaran tahun ini, yang besarnya Rp 4,2 triliun.
Roy menilai pagu itu terlalu besar bila dibandingkan kinerja mereka selama ini. Ia mencontohkah kinerja di bidang legislasi yang kedodoran. Pada 2016, dari 50 rancangan undang-undang yang ditargetkan, hingga Oktober 2016 hanya 9 yang disahkan menjadi UU.
Dengan kinerja yang sangat minim tersebut, kata Roy, idealnya anggaran Dewan bukan ditambah tapi justru harus diturunkan. "Legislasi ini menjadi ukuran penting karena itu salah satu tugas utama DPR," ujarnya.
Sedangkan di luar legislasi, DPR lebih dominan memainkan peran pengawasan tapi sifatnya justru bertentangan dengan logika public pada umumnya. Roy mencontohkan pembentukan Pansus KPK yang oleh banyak pihak ditentang. Di bidang pengawasan DPR terbilang gagal karena faktanya masih ada anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Hasrul Azwar menyebutkan besarnya anggaran DPR itu masih bersifat usulan. Keputusan besarnya anggaran masih menunggu setelah pidato nota keuangan Presiden pada 16 Agustus nanti. "Itu masih nanti, kalau sudah ketemu. BURT kan baru di tahap pengajuan saja," jelasnya.
Sementara Wakil Ketua DPR Fadli Zon menganggap pagu anggaran sebesar Rp 5,7 Triliun masih terlalu kecil. Ia mengeluh selama ini ruangan anggota terlalu kecil dan perlu pembangunan alun-alun demokrasi di Komplek Parlemen.
Ia justru berharap anggaran lebih besar sehingga DPR semakin kuat. "Harusnya kami punya anggaran yang independen dari eksekutif sehingga kita bisa mengelola," ujar politisi Partai Gerindra itu.
Dia menolak jika kinerja DPR hanya dikaitkan dengan soal legislasi. UU selama ini banyak diperlukan dan akhirnya dianggap sebagai kinerja DPR. Padahal kinerja legislasi tidak melulu dihitung dari banyaknya RUU yang disahkan.
(ayo/jat)