Salah satunya Erwin (23), pedagang di Pasar Cengkareng, yang memilih menggunakan rakit daripada harus berputar melewati jembatan. Padahal jarak antara jembatan dan rakit kurang-lebih 100 meter.
![]() |
"Rumah saya di belakang rakit itu. Jadi lebih gampang untuk lewat sini," ucap Erwin.
Rakit kayu itu ditarik oleh Tubi (53). Dia siap mengantarkan siapa pun menyeberang asalkan air kali tidak meluap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Tubi tidak mematok harga untuk satu kali antar. Dia membebaskan penumpang membayar seikhlasnya.
"Kadang dua ribu, ada lima ribu. Ada juga yang seribu, tapi tanya-tanya dulu. Sabtu, Minggu bisa dapat 30 sampai 50 ribu rupiah. Hari biasa bisa sampai 90 ribu," ujar Tubi.
Tubi menarik rakit sejak 1972. Saat itu, umurnya masih delapan tahun dan hanya membantu kakaknya.
"Dulu awal di dekat Pasar Cengkareng. Pindah pangkalan disini sejak 1983," kata Tubi.
Pangkalan yang dimaksud oleh Tubi adalah undakan kayu yang menempel di sisi kali. Kapalnya berguncang saat orang melangkah masuk ke kapal.
Kapal itu terbuat dari kayu beratap terpal. Kapal pun harus sering diperbaiki agar tidak hancur.
"Kalau tidak sering ditabrak-tabrak, delapan tahun kuat. Kalau sering ditabrak, cuma lima tahun harus ganti," ucap Tubi.
![]() |
Di atas rakitnya terdapat peralatan, seperti paku dan palu. Terlihat dia memaku bagian sambungan kayu agar kembali kuat.
Tubi merasa rakit reyot miliknya masih dibutuhkan. "Kadang-kadang orang kalau muter itu kecapean," kata Tubi.
Menurut Tubi, dia bukanlah satu-satunya penarik rakit di Jakarta. Di lokasi lain masih ditemui, meski tidak banyak.
"Rakit masih ada itu di Kapuk, Pesing, ada juga di Pesakih," kata Tubi. (aik/nvl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini