PAN Menentang Jokowi: Tolak Perppu Ormas, Beda Pendapat UU Pemilu

PAN Menentang Jokowi: Tolak Perppu Ormas, Beda Pendapat UU Pemilu

Aditya Mardiastuti - detikNews
Jumat, 21 Jul 2017 14:38 WIB
Ketua DPP Yandri Susanto (Foto: Lamhot Aritonang)
Jakarta - Terbitnya Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas dan beda pilihan lima paket isu krusial di RUU Penyelenggaraan Pemilu memicu ribut di DPR. Koalisi pendukung pemerintah pecah, PAN beda sikap dengan PDIP dkk.

Sikap PAN sebagai anggota partai pendukung Presiden Jokowi dipertanyakan. Apalagi PAN menjadi satu-satunya partai pendukung pemerintah yang walk out (WO) saat pengesahan RUU Pemilu menjadi UU.

"Kami menghargai perbedaan di antara kita. Oleh karena itu, atas nama fraksi, untuk tahapan berikutnya, pengambilan tingkat II di forum paripurna, kami tidak akan ikut dan tidak bertanggung jawab," kata Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto dalam sidang paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Sebelum memilih WO, PAN ngotot ingin ambang batas presiden atau presidential threshold dihapus, padahal pemerintah ingin presidential thresold 20-25 persen. PAN ingin negosiasi presidential threshold itu asalkan menggunakan metode konversi suara hare. Yandri mengaku lobi dengan Presiden Jokowi, Menko Polhukam Wiranto dan elite PDIP sudah gol, hanya saja saat lobi dengan fraksi partai pendukung pemerintah lainnya tidak ditemukan kata sepakat.

"Faktanya, sampai jam 22.00 WIB tadi kami lobi itu, yang kami tawarkan ternyata tidak ada titik temu dan tidak ada respons baik dari teman-teman koalisi ya, yang termasuk yang nol persen itu, kan dari awal nol persen," papar Yandri.



Dengan sistem voting, PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, dan PPP memuluskan isu krusial opsi A menjadi UU Penyelenggaraan Pemilu. Tak puas dengan keputusan tersebut, PAN memilih walk out bersama dengan Gerindra, PKS dan Demokrat. PAN juga siap mendukung pihak yang akan mengajukan uji materi UU Pemilu tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

"Untuk pertama kalinya, legislatif serentak, saya akan yakin banyak sekali masyarakat akan men-JR (judicial review). Kita akan mendukung teman-teman yang mau men-JR ke MK," ucap Yandri.

Tak hanya itu, sikap berbeda dengan koalisi juga ditampilkan PAN terkait terbitnya Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas karena dinilai belum menjadi solusi menangani ormas yang dianggap anti-Pancasila.

"Perppu belum menjadi solusi terhadap ormas yang dianggap pemerintah saat ini bermasalah," kata Ketua DPP PAN Yandri Susanto di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (13/7).



Yandri menambahkan terbitnya perppu itu justru berpotensi mengganggu kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berpendapat. Bahkan perppu itu rawan disalahgunakan pemerintah untuk membubarkan ormas yang kritis.

"Kalau cukup dengan Kumham, apa ranah ormas yang melanggar, parameternya apa. Ini akan menjadi, kebebasan berserikat dan berpendapat terganggu. Jadi bisa juga perppu ini dijadikan oleh pemerintah ketika ada ormas yang kritis, beda pendapat dengan pemerintah, sering demo, bisa juga dikatakan melanggar Pancasila," tutur dia.

Kritik muncul diikuti dengan pengakuan PAN tak dilibatkan dalam pembahasan bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ketum PAN Zulkifli Hasan mengatakan ribut tidak akan terjadi jika dibahas semua partai termasuk PAN sebagai koalisi pemerintah.

"Sekarang ini lagi ramai soal Perppu untuk bubarkan ormas. Nanti akan dibelah lagi kita, antara setuju dan nggak setuju, dukung nggak mendukung, Pancasila atau nggak Pancasila, Bhinneka tidak Bhinneka, akan ramai lagi. Padahal sebetulnya sederhana, kalau kita (PAN) diundang kita bahas Perppu itu apa isinya, nggak akan seramai sekarang," ujar Zulkifli dalam sambutannya pada acara halal bihalal di DPP PKS, Jl Tb Simatupang, Jakarta Selatan, Minggu (16/7).



PAN pun menyerahkan penilaian soal beda sikap itu ke Presiden Jokowi. Ketua DPP Fraksi PAN Yandri Susanto tak mau menanggapi soal reshuffle di kabinet yang bisa berdampak ke kursi PAN karena masalah UU Pemilu dan meyakini Presiden Jokowi melakukan reshuffle karena masalah kinerja.

"Kalau masalah reshuffle itu masalah hak prerogratif presiden. Kalau berbasis kinerja, bang Asman (Menpan RB) pasti aman," ungkap Yandri usai PAN walk out dari sidang paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (21/7) dini hari.

Jika ternyata perombakan kabinet dilakukan karena masalah beda pilihan atau urusan politik, PAN mengembalikan ke Jokowi. Diakui Yandri, pihaknya memang tidak sejalan dengan Jokowi dalam sejumlah hal termasuk mengenai urusan Basuki T Purnama (Ahok).

"Kalau gara-gara kami tidak mendukung Ahok, tidak seiring sejalan dengan RUU pemilu ya itu lain lagi parameternya. Kita serahkan lagi pada pak Jokowi, jadi kami sifatnya pasif. Tidak ngoyo dan tidak ngotot," jelasnya.

Terkait apakah saat ini PAN masih bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi, Yandri tidak mau menjawab gamblang. Dia malah menyerahkannya kepada Jokowi untuk menilai.

"Kalau koalisi itu kan kita koalisi dengan pak Jokowi. Silakan Pak Jokowi saja yang menilainya apakah PAN masih dianggap sebagai teman koalisi atau sebagainnya," tutur Yandri. (ams/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads