"Uang makan Rp 15 ribu per hari," kata Dirjen Pemasyarakatan I Wayan Dusak.
Hal itu disampaikan Dusak di depan para ahli hukum se-Indonesia di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis-Jumat (20-21/4/2017). Pertemuan itu dipimpin Menkumham Yasonna Laoly.
![]() |
Hadir dalam kesempatan itu mantan Wakil Ketua MK Harjono; mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan; guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Nyoman Serikat Putra Jaya dan Prof Adji Samekto; guru besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Prof Hartiwiningsih; dan guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uang Rp 15 ribu itu harus disiasati untuk makan tiga kali. Jadi, sekali makan, tiap tahanan/narapidana diberi banderol Rp 5 ribu.
"Jumlah uang itu belum dipotong keuntungan pihak katering," ujar Dusak.
Fakta di atas membuat peserta diskusi kaget bukan kepalang. Uang tersebut dinilai tidak layak.
![]() |
"Saya cukup kaget dengan informasi tadi. Tidak banyak informasi tersebut diakses itu oleh masyarakat," kata Donal.
Lalu, berapa total uang negara yang harus dikeluarkan untuk tahanan dan narapidana? Saat ini jumlah tahanan dan narapidana sebanyak 200 ribuan orang. Bila dikalikan Rp 15 ribu per hari dan dikalikan 365 hari, dalam setahun APBN harus dikucurkan sebesar triliunan rupiah untuk makan tahanan/narapidana.
Dengan fakta tersebut, perlu dibuat terobosan agar para penghuni lembaga pemasyarakatan berkurang. Pertama, yaitu prapemidanaan dengan meningkatkan profesionalitas aparat penegak hukum. Dalam menangani perkara, aparat harus benar-benar selektif menahan orang.
![]() |
"Seperti mencuri ayam lalu ditahan. Itu kan cuma menuh-menuhi lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan," ujar Feri Amsari.
Baca Juga:
Kasus Laundry Rp 78 Ribu, Jaksa Sempat Penjarakan Linda 3 Bulan
Selain selektif menahan, petugas harus selektif menyidik perkara, yang berujung pemidanaan. Seperti dalam kasus narkoba, di mana saat ini 70 persen dari penghuni LP adalah tahanan kasus narkoba. Dari jumlah itu, bandar/gembong narkoba hanya 20 persenan. Sedangkan paling banyak di level pengedar dan pengguna narkoba, yakni 20.171 orang. Padahal pengguna narkoba bisa diberi alternatif hukuman, yaitu rehabilitasi.
Langkah kedua, disiapkan regulasi alternatif jenis pidana, tidak melulu harus masuk penjara.
"Umpamanya pidana denda. Saya contohkan, ada pengacara menabrak orang. Apakah harus dipidana badan atau ada alternatif pidana lain? Hitunglah, umpamanya dia penghasilannya Rp 100 juta per bulan, apa tidak lebih baik didenda setengah dari penghasilannya dalam sekian waktu?" ucap Dusak.
Nah, langkah terakhir adalah setelah tahanan menjadi narapidana. Perlu dibuat formulasi khusus dengan memberikan remisi bagi terpidana yang benar-benar berkelakuan baik.
"Umpamanya ada terpidana yang hafal Alquran 30 juz, dapat remisi," ucap Prof Hartiwiningsih. (asp/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini