"Pada 16 Februari 2011, kita didatangi Kemendagri, Pak Sugiharto, sama saya lupa satu orang. Bertemu salah satu direktur di LKPP, dan bertemu saya di lantai 7. Minta percermatan dokumen pengadaan," kata Setya saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (17/4/2017).
Kunjungan tersebut juga sekaligus menyerahkan surat terkait dengan permintaan pencermatan. Sekitar seminggu kemudian, LKPP membalas surat tersebut dengan hasil pencermatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setya menjelaskan, dari 9 paket yang ada, hanya 6 yang disampaikan. Setya tak menuturkan detail apa saja paket yang diumumkan dan apa yang tidak.
"Waktu itu ada diumumkan 6, tidak semuanya. Ini tidak benar, melanggar perpres, harusnya semuanya diumumkan. Kemudian dokumen prakualifikasi atau dokumen yang digunakan masih mengacu kepada proses pengadaan manual, bukan e-proc (e-procurement)," tutur Setya.
"Kriteria penilaian dengan sistem nilai yang ada dalam dokumen tersebut tidak jelas, kurang detail, kurang rinci, tidak kuantitatif," ucapnya.
Menurut Setya, jika pengerjaan disatukan, ada potensi kegagalan yang sangat besar.
"Peluang gagal sangat besar?" tanya jaksa.
"Ya, karena waktunya sangat pendek. Pekerjaan sebesar itu, nilainya sebesar itu, kita analisis itu akan berpeluang terjadi kegagalan," ujar Setya.
Akhirnya, karena telanjur dikerjakan dengan sistem pemaketan, LKPP menyarankan agar tata cara pemaketan diperbaiki.
"Kami berpendapat, untuk mencegah terjadinya kegagalan, harus dilakukan perbaikan tata cara pemaketan dan dokumen lelang," ujar Setya. (rna/fdn)