Saksi dari Kasi Pertimbangan Hukum dan Hak Cipta Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Agung Damar Sasongko, mengatakan, kasus hak cipta karya ini terjadi sebelum munculnya UU no 28 tahun 2014 tentang HKI. Karena itu kasus ini seharusnya dapat diselesaikan secara perdata.
"Sebelum ada UU yang baru, biasanya performance right (diumumkan) dan mechanical (penggandaan) right dijadikan satu. Yang penting rumah karaoke sudah memenuhi kewajibannya membayar royalti," ujar Agung dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (22/8/2016).
Dalam kesaksiannya, Agung berkesimpulan bahwa tidak terjadi pelanggaran hukum terhadap rumah karaoke. Dalam klausul perjanjian antara user dengan Lembaga Manajemen Koletif (LMK), sebuah lembaha yang mengelola royalti, ada klausul yang melindungi dari gugatan pihak ketiga.
Saksi ahli satu lagi yakni pembina Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) Henry Sulistyo mengatakan bahwa tidak adil jika user disalahkan dengan aturan baru karena kaidah hukum yang lama belum jelas. Menurut Henry, aturan lama memang tidak menjelaskan secara khusus terkait pembayaran performing right maupun mechanical right.
"Dalam praktiknya, user yang membayar royalti sudah mendapatkan semuanya. Tidak mungkin melakukan performing right tanpa melakukan mechanical right. Kasus ini seharusnya dapat diselesaikan secara perdata," ujar Henry.
Kasus ini berawal saat Radja melaporkan lima rumah karaoke terkait dugaan kasus pelanggaran hak cipta. Rumah karaoke itu adalah NAV, Inul Vizta, Charlie Family, Happy Puppy, dan DIVA. Saat kasusnya tengah berproses, Ian Kasela dilaporkan ke Polda Jatim dengan tuduhan pemerasan. (fat/iwd)