"Alhamdulillah," kata Ridwan terbata-bata kepada detikcom, Kamis (4/2/2016).
Kasus bermula saat ia hendak terbang dari Bandara Soekarno-Hatta ke Denpasar pada 11 April 2011. Tapi ia diperlakukan diskriminatif oleh sistem penerbangan. Oleh sebab itu, Ridwan menggugat maskapai Lion Air, pengelola bandara Angkasa Pura II dan pemerintah yaitu Kementerian Perhubungan. Ketiganya melakukan perbuatan diskriminatif terhadap difabel seperti dirinya yang menggunakan kursi roda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat gugatan bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) di Jalan Gajah Mada, diskriminatif kembali ia terima. Yaitu sidang digelar di ruangan lantai dua dan tidak ada lift menuju lantai dua. Alhasil, dengan susah payah dibantu temannya, Ridwan harus naik tangga yang cukup curam. Saking curamnya, Ridwan harus digendong/dipapah menuju lantai dua tersebut.
"Bisa-bisa, pengadilan diadili gara-gara tidak menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas," ungkap Ridwan berseloroh kala itu.
Baca: Minimnya Fasilitas Bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan
Dalam sidang tersebut, Ridwan dibela pengacara yang juga difabel. Untuk semakin meyakinkan hakim, teman-teman Ridwan yang mengalami hal serupa juga ikut bersaksi di pengadilan. Lagi-lagi mereka harus melalui konstruksi gedung pengadilan yang tak ramah terhadap mereka.
Setelah membeberkan berbagai bukti, majelis hakim PN Jakpus meyakini jika Lion Air, Kemenhub dan Angkasa Pura II telah melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis hakim yang terdiri dari Amin Sutikno, Bagus Irawan dan Agus Iskandar mengetuk palu dengan tegas dan menghukum Lion Air dkk dengan denda Rp 25 juta dan meminta maaf ke Ridwan di media cetak. PT Angkasa Pura II dinilai bersalah karena tidak menyediakan lift khusus bagi para difabel. Adapaun Kementerian Perhubungan dihukum karena sebagai regulator lalai akan tugasnya yaitu wajib melakukan kontrol dan pengawasan.
"Perbuatan tergugat mengakibatkan perasaan malu dan terhina sebagai orang cacat. Kemenhub tidak boleh hanya menunggu laporan penumpang tetapi proaktif melihat pemenuhan hak penumpang," putus majelis dengan suara bulat pada 8 Desember 2011.
Atas vonis ini, Lion Air memilih menggunakan hak hukumnya untuk mengajukan banding. Lion berharap putusan berubah tapi malah sebaliknya. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menaikkan nilai kerugian menjadi Rp 50 juta. Duduk sebagai ketua majelis Kornel Sianturi dengan anggota Syafrullah Sumar dan Roki Panjaitan.
"Ganti rugi kurang memenuhi rasa keadilan karena dianggap terlalu kecil," ucap majelis banding dalam pertimbangan menaikkan nilai ganti ruginya.
Lion Air terus menggunakan hak hukumnya dengan mengajukan upaya kasasi. Tapi pada 26 Januari 2016 MA menolak permohonan kasasi itu. Selain menghukum Lion Air, Kemenhub dan AP II Rp 50 juta, ketiganya juga harus meminta maaf ke Ridwan dengan materi:
KAMI DEPARTEMEN PERHUBUNGAN, PT LION MENTARI AIRLINES DAN PT ANGKASA PURA II MOHON MAAF KEPADA PENGGUGAT, RIDWAN SUMANTRI, PENYANDANG CACAT ATAS KELALAIAN PETUGAS KAMI YANG TIDAK MEMBERIKAN LAYANAN YANG SEMESTINYA
Pihak Lion siap melaksanakan hukuman ini dan pihaknya juga berjanji akan memperbaiki pelayanan agar kasus ini tak terulang lagi.
"Kalau (bunyi putusannya) sudah seperti ya kita selesaikan, tidak ada masalah. Kalau memang harus bayar ya kita bayar," ujar Head of Corporate Lawyer Lion Groups, Dr Harris Arthur. (asp/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini