Sidang MK itu digelar pada 2010, menyidangkan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat. Saat itu Bambang menjadi kuasa hukum salah satu kandidat dalam Pilkada.
Pada pemilihan 2010, pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto meraih 55 ribu suara, kalah oleh pasangan Sugianto Sabran-Eko Soemarno yang mendapat 67 ribu dukungan. Kubu Ujang kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Ujang menggandeng Bambang Widjojanto dan tim kuasa hukum dari Widjojanto, Sonhadji & Associates, untuk menghadapi Sugianto di MK. Ujang menang sehingga kini menjadi Bupati Kotawaringin Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang dijerat dengan Pasal 242 KUHP mengenai kesaksian palsu di bawah sumpah di pengadilan. Pasal tersebut dikaitkan dengan pasal 55 KUHP, mengenai perluasan pertanggungjawaban atau tindakan bersama-sama dengan orang lain.
Menurut pakar hukum pidana dari UI Gandjar Laksmana Bonaprata Bondan, penerapan pasal tersebut untuk Bambang tidak tepat. Ada sejumlah alasan yang mendasari penilaian itu.
"Penyidik menambahkan Pasal 55 KUHP yang di-juncto-kan ke Pasal 242 KUHP. Nah, di sinilah persoalannya terbuka. Pasal 55 KUHP adalah konsep perluasan pertanggungjawaban pidana yang dalam ilmu hukum pidana disebut sebagai penyertaan," ujar Gandjar, melalui akun twitter-nya, Selasa (27/1/2015).
"Hanya saja bentuk penyertaan yang diatur di Pasal 55 itu pun ada beberapa yakni doen plegen, mede plegen dan uitlokken. Berhubung Kadiv Humas menyebut menyuruh, maka saya mengasosiasikannya pada bentuk doen plegen alias menyuruh melakukan," sambung Gandjar.
Konsep doen plegen, kata Gandjar, berarti seseorang menyuruh melakukan sesuatu, ketika seseorang yang lain (dalam hal ini yang disuruh) juga menghendaki terjadinya delik. Dengan konsep itu, pelaku delik sesungguhnya adalah si orang yang disuruh. Penyuruh hampir tidak melakukan perbuatan atau delik apapun.
"Ada syarat penting dari doen plegen atau menyuruh melakukan yaitu si pesuruh, meski dia pelaku tapi dia tidak bisa dipidana. Mengapa demikian? Penjelasan logisnya begini: pada dasarnya tidak ada orang normal yang mau disuruh begitu saja untuk melakukan perbuatan apapun. Lalu apa mungkin ada orang normal yang mau disuruh melakukan delik itu? Pasti tidak," ujar pria yang sehari-hari mengasuh mata kuliah Hukum Pidana, Tindak Pidana Korupsi, dan Tindak Pidana Ekonomi ini.
Merujuk pada teori yang ada, maka agar si penyuruh dapat dikenai delik pidana, maka pihak yang disuruh haruslah pihak yang masuk dalam kategori 'bisa sepenuhnya diarahkan', antara lain: anak di bawah umur, orang gila. Atau orang dalam keadaan overmacht mutlak (suatu keadaan di mana seseorang berada dalam keadaan tidak bebas berpikir dan berbuat). Contoh dari overmacht mutlak adalah orang yang dihipnotis, sehingga tidak menyadari apa yang dilakukannya.
"Kembali ke konstruksi kasus BW, mari kita cari apakah ada orang gila, anak kecil dan orang dalam kondisi overmacht mutlak di sidang MK itu? Pasti tidak ada. Jadi kalau memakai konstruksi Polri, BW menyuruh anak kecil atau orang gila atau orang dalam keadaan overmacht mutral bersaksi di sidang MK. Logiskah? Itulah mengapa saya mengatakan bahwa kasus BW ini adalah rekayasa belaka. Saya hanya gunakan kacamata hukum selain itu saya tidak kompeten," ujar Gandjar.
Gandjar juga menyoroti hal lain dalam kasus Bambang yakni pernyataan Polri yang sudah mengantongi tiga alat bukti: keterangan ahli, surat dan keterangan saksi. Dia meragukan Polri sudah mengantongi keterangan ahli karena dirasa begitu cepat untuk dilakukan. Seperti diketahui, aduan terhadap BW masuk ke Bareskrim pada tanggal 19 Januari 2015 dan BW ditangkap pada 23 Januari atau hanya selang 4 hari.
"Kita punya banyak ahli, tapi keterangan ahli diberikan dalam waktu singkat sejak laporan sampai dengan penangkapan itu cepat sekali. Dengan pandangan hukum saya ini, makin menyebalkan rasanya mendengar pernyataan Polri bahwa mereka mempunyai alat bukti yang kuat," ujar Gandjar.
"Saya setuju untuk menghormati proses hukum. Praperadilan. Buktikan di pengadilan. Tapi dari kasus BW ini sangat jelas target sesungguhnya. Sekali lagi, analisis saya hanya bermodal keterangan pers Kadiv Humas Polri dan berbagai informasi lanjutan. Saya bisa saja salah. Polri juga. KPK juga. Tapi dalam penegakan hukum mencari-cari kesalahan sangat berbeda dengan mencari kebenaran," tutup Gandjar.
(fjp/nrl)