Pertama, Jokowi menyayangkan masih ada beberapa shelter bus TransJ yang belum menggunakan ramp (jalur khusus kursi roda).
"Yang baru ini dua koridor sudah (pakai ramp). Tapi yang lama-lama memang problemnya nggak ada rampnya, dan juga kemudian sempit," ujar Jokowi di shleter Senen bus TransJakarta, Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk pegangan tangannya terlalu rendah, ini bahaya," ujar dia.
Ketiga, lanjut Jokowi, suasana ruang loket yang belum cukup terang sehingga menyulitkan penderita tuna rungu (tuli) untuk membaca gerak bibir petugas loket.
"Ada masalah di loket. Loketnya kalau tidak terang, ini untuk tuna rungu, sangat mengganggu karena kan harus baca bibir kan. Bibirnya dari dalam loket tidak kelihatan, ini juga kesulitan. Banyak sekali," jelas mantan Wali Kota Solo ini.
Keempat, tidak adanya 'lidah' penyambung antara shelter dengan bus TransJ sehingga menyulitkan penderita disabilitas, khususnya yang menggunakan kursi roda untuk masuk ke dalam bus. Jelas ini sangat berbahaya.
"Lidah halte ke bus ini kadang tidak ada. Sehingga waktu bus ke halte ini ada ruang. Kadang bisa 20-30 cm. Ini sangat bahaya. Pernah ada yang terjepit, pernah ada yang jatuh. Karena ada ruang antara bus dan halte tidak penuh," jelasnya.
"Masuk dari halte ke bus juga sulit sehingga harus digotong, harusnya tidak seperti itu. Harusnya ada lidah tidak otomatis, ya kan," tambahnya.
Terakhir, kenyamanan dan keamanan bagi penderita disabilitas di dalam bus TransJ.
"Di busnya juga ada problem. Karena tidak ada safety belt untuk penyandang yang pegang kursi roda. Harusnya ini ada, untuk aman karena diguncang-guncang," jelas Jokowi.
(jor/aan)