Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima gugatan PPP terhadap PDIP di Dapil Papua Tengah. Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam sidang ini menggunakan hak ingkar dalam putusan perkara tersebut.
"Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan dalam sidang Pileg putusan dismissal, di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2024).
"Dalam hal ini Hakim Konstitusi Arsul Sani menggunakan hak ingkar dalam memutus perkara a quo," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, berdasarkan Pasal 17 Ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman, hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkara ialah seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang tengah diperiksa. Pengunduran diri itu baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan permohonan PPP tidak jelas dan kabur. Enny mengatakan PPP tidak menjelaskan bagaimana peristiwa perpindahan suara itu terjadi.
"Pemohon tidak menjelaskan locus terjadinya perpindahan suara secara spesifik," jelasnya.
"Pemohon tidak menyebutkan dan tidak menunjukkan suara yang pindah dan dipindah itu dari suara partai politik atau dari suara calon legislatif partai politik," sambung dia.
Enny menjelaskan PPP meminta tiga alternatif petitum dengan pokok petitum yang berbeda-beda. Hal itu lantas membuat ketidakjelasan terhadap permintaan PPP selaku Pemohon.
"Bahwa terhadap eksepsi tersebut, Mahkamah hanya akan mempertimbangkan eksepsi Termohin yang dianggap oleh Mahkamah penting dan relevan untuk dinilai, yakni berkenaan dengan adanya beberapa model petitum alternatif dan soal ihwal lokasi perpindahan suara pemohon yang tidak dijelaskan secara rinci," paparnya.
Seharusnya, lanjut dia, pemohon dapat mengajukan petitum yang jelas. Maka, dengan begitu, MK dapat mempertimbangkan petitum Pemohon.
"Petitum yang rusak jelas apalagi saling bertentangan dengan posita berpotensi membuat sebuah permohonan menjadi tidak jelas dan kabur. Oleh karenanya kejelasan petitum dalam suatu permohonan menjadi salah satu syarat formil yang diatur dalam pasal 11 ayat 2 PMK 2/2023," ujar Enny.
"Adapun petitum permohonan pemohon oleh Mahkamah dinilai tidak jelas atau kabur," lanjutnya.
Saksikan Live DetikSore: