(Lagi-lagi) PDIP vs PD, Kini Soal AS Menangkan SBY-JK

(Lagi-lagi) PDIP vs PD, Kini Soal AS Menangkan SBY-JK

Matius Alfons, Firda Cynthia Anggrainy - detikNews
Kamis, 29 Sep 2022 08:34 WIB
SBY dan Megawati penganugerahan doktor kehormatan pada Ketua MPR Taufiq Kiemas di Gedung MPR/DPR, Maret 2013
Foto: Dok. Setneg
Jakarta -

Partai Demokrat kembali berdebat dengan PDIP. Kali ini persoalan Amerika Serikat yang dituding ada di balik kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) di 2004.

Awalnya persoalan itu dibahas oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait respons atas pernyataan Politikus NasDem Zulfan Lindan soal awal mula munculnya keretakan hubungan antara Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan SBY. Hasto mengungkit keterlibatan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush.

Hasto membeberkan adanya kepentingan AS melalui Bush di tengah-tengah kedua mantan presiden ini. Menurut Hasto, Megawati dinilai tak sejalan dengan kepentingan nasional AS, kemudian preferensi politik negara adikuasa itu beralih ke SBY.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apa yang disampaikan Bang Zulfan Lindan betul," kata Hasto saat dihubungi, Rabu (28/9).

Hasto menyebut hubungan Bush dan Mega awalnya baik dan dekat secara personal. Namun Mega disebut memiliki kebijakan luar negeri yang berseberangan dengan AS. Hal inilah, kata dia, yang berbeda dengan SBY.

ADVERTISEMENT

"Hubungan secara pribadi antara Ibu Mega dan George W. Bush baik dan secara personal dekat. Namun menyangkut urusan berbangsa dan bernegara, Ibu Mega sangat kokoh pada prinsip. Kebijakan luar negeri Ibu Megawati banyak yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional AS. Atas dasar hal tersebut, maka preferensi politik AS kemudian beralih ke SBY," ujarnya.

Hasto mengungkit pada era SBY cadangan minyak Blok Cepu diserahkan ke ExxonMobil, perusahaan energi berkantor pusat di AS. Penyerahan itu, menurut Hasto, sebagai hadiah politik.

"Karena itulah hanya beberapa saat setelah Pak SBY menjadi presiden, Blok Cepu diserahkan ke ExxonMobil sebagai hadiah atas dukungan Amerika Serikat terhadap Pak SBY," ujarnya.

Lebih lanjut, Hasto mengaku pernah mendengar hal serupa dari KH Hasyim Muzadi, ketum PBNU saat itu. Hasto menceritakan Hasyim menyampaikan itu di satu momen usai perhitungan cepat hasil Pilpres 2004 silam.

"Kesimpulan yang sama juga disampaikan oleh almarhum KH Hasyim Muzadi kepada saya. Saat itu Pak Hasyim di kompleks Patra Kuningan, pascapengumuman hitung cepat," kisah Hasto.

Simak penjelasan lebih lanjut Hasto di halaman berikutnya.

Saksikan Video 'Cerita Zulfan Lindan Soal Telepon Bush dan Kekalahan Megawati di 2004':

[Gambas:Video 20detik]



"Beliau pakai baju putih, di atas kursi goyang mengatakan kepada saya, 'Mas Hasto, Pak SBY ini utang budi ke banyak pihak, khususnya AS, nanti kita lihat pemerintahan ini ke depan, pasti akan menghadapi banyak tekanan internasional'. Saat itu kalau tidak salah ada sekretaris beliau, Mas Edo," ujarnya.

Hasto menyebutkan ada sejumlah hal yang membuat AS dianggap menjadi tak 'welcome' dengan Mega. Salah satunya tak terlepas dengan urusan penyerahan Blok Cepu ke ExxonMobil.

"Dalam Pertemuan Bali Concorde di Bali tahun 2003, saat George Bush minta agar Blok Cepu diberikan ke ExxonMobil, tetapi Ibu Mega mengatakan bahwa blok minyak tersebut milik Pertamina," kata Anggota DPR periode 2004-2009 ini.

"Ketika SBY jadi Presiden, dirut Pertamina yang ditunjuk zaman Bu Mega menolak, lalu diganti sama SBY dan akhirnya Blok Cepu diberikan ke AS sebagai 'upah politik' sebagaimana disampaikan saat itu oleh almarhum KH Hasyim Muzadi," sambungnya.

Hasto mengatakan alasan hubungan Bush dan Mega memburuk juga karena sikap Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina.

"Belakangan saya tahu, mengapa AS tidak begitu welcome dengan Ibu Mega. Satu, paska 9/11 dalam Pidato di PBB. Ibu Mega mengatakan bahwa akar persoalan terorisme akibat ketidakadilan masalah Palestina. Indonesia mendukung kemerdekaan penuh Palestina," katanya.

Demikian pula keputusan Mega menolak rencana ekstradisi Abu Bakar Ba'asyir ke AS menjadi alasannya. Perlu diketahui, Ba'asyir merupakan tokoh Islam di Indonesia keturunan Arab yang dianggap punya keterkaitan dengan sejumlah peristiwa dan aksi terorisme di Indonesia. Ba'asyir sendiri saat ini telah selesai menjalani pidana terkait kasus terorisme.

"Rencana ekstradisi Ustaz Abu Bakar Ba'asyir ke USA ditolak oleh Ibu Mega, karena selain tidak ada perjanjian ekstradisi juga sebagai presiden harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia," kata Hasto.

Selain itu, Hasto menceritakan Mega tak hanya sekali ditelepon Bush agar menyatakan dukungan serangan AS ke Irak. Namun, sebutnya, Mega menolak.

"Beberapa kali Bu Mega ditelepon George Bush agar mendukung serangan AS terhadap Irak. Namun Bu Mega selalu menolak, sebab kemerdekaan ialah hak segala bangsa. RI bahkan mengutuk serangan USA terhadap Irak. Sikap keras Bu Mega melebihi OKI dan PM Malaysia, Mahathir Mohamad," katanya.

Hasto melanjutkan, hubungan Mega dan Bush yang memanas lantas menggagalkannya bisa membeli alat utama sistem senjata (alutsista) dari Barat. Bush pun disebut kian berang saat Mega pindah pasar ke Rusia dan membeli Sukhoi.

"Demi membela TNI di dalam membangun alutsistanya, maka Ibu Mega melobi USA dan Inggris agar Indonesia bisa beli alutsista termasuk pesawat tempur dari Barat, tetapi permintaan ditolak. Maka sebagai negara berdaulat, Bu Mega ke Rusia dan kemudian beli Sukhoi. Ini yang juga bikin marah Bush," ujar Hasto.

Simak respons Demokrat di halaman berikutnya,

PD Tuding PDIP Halusinasi Tingkat Dewa


Partai Demokrat pun tak terima dengan pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto soal awal mula munculnya keretakan hubungan antara Megawati dan SBY akibat keterlibatan Amerika Serikat. Demokrat menuding PDIP sengaja mengkambinghitamkan Amerika Serikat atas kekalahan Megawati Soekarnoputri-Hasyim dari SBY-Jusuf Kalla (JK).

Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Analisa Data dan Informasi Balitbang DPP Partai Demokrat Syahrial Nasution, Rabu (28/9/2022). Penjelasan Partai Demokrat berkaitan dengan hubungan Megawati, SBY, dan Amerika Serikat di Pilpres 2004

Berikut ini penjelasannya:

Memasuki putaran ke-2 Pilpres 2004 yang menyisakan pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim, suatu ketika SBY bermain golf di seputaran Sentul, Bogor, bersama tokoh senior GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Suko Sudarso dan Sesmenko Polkam Sudi Silalahi (alm).

Saat itu, Pak Suko bertanya kepada SBY. Mengapa ada kesan Angkatan Darat (AD) tidak memihak ke pasangan SBY-JK? Pak SBY menjawab, Ryamizard itu kan kawan saya. Saya panggil Ryamizard itu abang, dia panggil saya mas. Panggilan orang Jawa dan Sumatera. Kalau dia (Ryamizard) takut ketemu saya, dia bisa telpon atau utus orang untuk ketemu saya.

Mana mungkin Joko (saat itu Letjen Joko Santoso alm. masih menjabat Wakasad) yang jadi Panglima TNI. Syarat untuk jadi Panglima TNI kan harus kepala staf. Suko Sudarso menimpali, kalau begitu boleh saya ambil alih ya? Ryamizard nanti yang jadi Panglima TNI? SBY menyetujui.

Singkat cerita, usai golf, Suko Sudarso menghubungi saya. "Tolong diatur kita ketemu KSAD." Saat itu juga saya berkomunikasi dengan Ketua FKPPI, Indra Bambang Oetoyo dan Ketua Umum FKPPI Pontjo Soetowo.

Selang satu hari, sekitar pukul 20.00 wib kami diterima di rumah dinas KSAD Jl. Gatot Soebroto, Jaksel. Hadir dalam pertemuan: KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, Suko Sudarso, Pontjo Soetowo, Indra Bambang Oetoyo dan Ketua Media Center SBY-JK Syahrial Nasution.

Pak Suko mengisahkan kembali percakapan di lapangan golf dua hari sebelumnya hingga akhirnya terjadilah pertemuan malam itu. Ryamizard lantas menerangkan, bahwa secara hierarki KSAD adalah anak buah Presiden RI. Sehingga, tidak mungkin menolak perintah presiden ketika diminta mendampingi berkeliling daerah. Di sisi lain, Ibu Megawati juga menjabat Ketua Umum PDI Perjuangan.

Termasuk Ibu Nora, istri Ryamizard, juga tidak mungkin menolak ajakan Ibu Mega mendampingi berkeliling daerah. Termasuk mendatangi rumah-rumah dan barak-barak tentara. Baik dalam kapasitas Ibu Mega sebagai presiden, maupun ketua umum partai.

Pada saat itu, media seringkali memberitakan kebersamaan Ryamizard dan istrinya bersama-sama dengan Presiden Megawati. Termasuk, Ibu Mega mengirimkan nama KSAD Jenderal Ryamizard ke DPR RI untuk diproses menjadi Panglima TNI, padahal sudah memasuki putaran ke-2 Pilpres.

Namun, pada pertemuan di rumah dinas KSAD tersebut, Ryamizard berkomitmen bahwa dia tidak akan ikut berpolitik. Karena politik tentara adalah Pancasila dan UUD 1945. Hingga beliau berjanji TNI AD akan netral pada putaran ke-2 Pilpres 2004.

Tak sampai satu minggu setelah pertemuan malam itu, KSAD Ryamizard membuktikan ucapannya. Dia menggelar apel besar dan mengeluarkan instruksi agar TNI AD bersikap netral di Pilpres 2004.

Melalui seorang kerabat keluarga Teuku Umar, dua hari menjelang pencoblosan putaran kedua Pilpres 2004, Bang Taufik Kiemas (alm) mengatakan, AD sudah "dikendalikan" Amerika.

Jadi, menurut saya, karangan cerita yang menyebut pemerintah AS terlibat memenangkan SBY-JK adalah halusinasi tingkat dewa. Satu republik ini tahu betul, bagaimana integritas dan jiwa nasionalis seorang Jenderal Ryamizard Ryacudu.

Apakah kekalahan Mega-Hasyim kala itu dengan mengkambinghitamkan keterlibatan Amerika karena gagal mengendalikan TNI AD? Halusinasi tersebut sama saja dengan penghinaan terhadap institusi TNI yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Tudingan-tudingan seperti itu sangat berbahaya.

(maa/eva)



Hide Ads