Otonomi Khusus vs Pemekaran di Papua

Otonomi Khusus vs Pemekaran di Papua

- detikNews
Senin, 04 Jun 2007 16:12 WIB
Jakarta - Ketika rakyat Papua menuntut pengakuan akan kedaulatan Papua Barat pada 1961 Jakarta menanggapinya dengan memproduksi dua undang-undang yang bertentangan. UU No 45/1999 tentang otonomi yang mengisyaratkan pemekaran dan UU No 21/2001 tentang otonomi khusus yang tidak menyebutkan masalah pemekaran. Namun, kenyataannya pemekaran wilayah yang dilakukan di tanah Papua tanpa dasar hukum. Banyak masalah muncul. Elit lokal mabuk jabatan dan berfoya-foya. Transmigrasi tidak terprogram paket baru setelah mereka --transmigran yang lebih dulu beranak cucu. Rakyat pribumi terjajah lahir batin dan justru melahirkan ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap Negara Indonesia. Ujian bagi SBY adalah membatalkan Irian Jaya Barat dengan mencabut Inpres 1/2003 yang memberlakukan kembali UU 45/1999 yang telah batal demi hukum sejak diundangkannya UU 21/2001 tentang otonomi khusus Papua. Serta membatalkan beberapa daerah yang telah dimekarkan dan enam daerah baru yang diusulkan DPR. Sesungguhnya pemerintah pusat melakukan kesalahan besar terhadap bangsa dan rakyat Papua. Kesalahan itu terkaitan dengan otonomi khusus vs pemekaran wilayah. Kesalahan itu adalah dua peraturan perundangan yang saling berbenturan. UU No 45/1999 mengisyaratkan pemekaran dan UU No 21/2001 tidak menyebutkan masalah pemekaran. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hal ini merupakan keputusan banci. Satu pihak menyatakan UU 45/1999 batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD 1945, tapi di lain pihak tetap mengakui keberadaan Irian Jaya Barat. Apalagi sekarang pemerintah pusat berencana mempermainkan kembali bangsa dan rakyat Papua dengan merevisi UU No 21/2001 tentang otonomi khusus Papua. Rencana merevisi UU No 21/2001 ini hanya punya satu tujuan yakni melegalkan pemekaran Irian Jaya Barat yang sebenarnya batal demi hukum. Rencana jahat ini adalah juga untuk membuka kesempatan pemekaran Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Selatan, dan Papua Bagian Barat Daya serta melegalkan berbagai pemekaran wilayah yang telah lebih dahulu dilakukan di tanah Papua.Rencana merevisi UU No 21/2001 tentang otonomi khusus Papua ini lebih mengemuka setelah adanya wacana pemekaran Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Selatan, dan Papua Bagian Barat Daya, serta lima wilayah kabupaten baru. Indonesia terkesan sembarangan memperlakukan manusia dan tanah Papua. Terbukti dengan melegalkan dirinya karena merupakan jawaban atas tuntutan pengembalian kedaulatan rakyat Papua yang telah direbut secara paksa pada 1 Mei 1963 dan rekayasa yang sarat dengan intimidasi pada pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada 1969. Ketentuan dari perjanjian New York 15 Agustus 1962 (Pasal 18) yang seharusnya one man-one vote diubah menjadi demokrasi perwakilan lewat Dewan Musyawarah Pepera yang beranggotakan 1.025 orang, (John Salford, 2003). Jika mau jujur, UU No 21/2001 tentang otonomi khusus Papua yang melegalkan pemekaran, bukan bertujuan menyejahterakan rakyat Papua (buku 45 Tahun Papua dalam NKRI). Namun, lebih sebagai jalan keluar (kalau tidak mau dibilang tutup mulut) ketika rakyat Papua mulai memiliki kesempatan untuk berbicara masalah pelurusan sejarah (Pepera 1969) dan kampanye pelanggaran HAM di dunia Internasional. Dalam konteks otonomi ini, kalau melihat fakta dari tujuan mulia bernama UU No 21/2001 memang nihil. Orang Papua merasa tidak menjadi tuan di negerinya sendiri. Tuan di atas tanah Papua adalah mereka yang memang dikirim untuk menguasai tanah Papua sebagai bagian dari Indonesia. Orang Papua benar-benar miskin harta miskin harga diri di tengah-tengah tanahnya yang kaya raya (baca standar miskin UNDP-beras 1 kg/hari/orang). Dari sisi kemiskinan harta, sebenarnya rakyat Papua adalah penjaga dan empunya kelimpahan sumber daya alam yang disedot ke Jakarta. Yang empunya kekayaan itu justru pemerintah pusat. Formula bagi hasil sumber daya alam (kehutanan 80%, pertambangan umum 80%, perikanan 80%, pertambangan umum 70%, dan pertambangan minyak bumi 70%) diharapkan perlahan-lahan bisa mengurangi ketimpangan. Banyak energi pemerintah pusat larut dalam hiruk pikuk politik. Pemerintah pusat pun terlihat maju-mundur dalam penanganan masalah otsus vs pemekaran wilayah di Papua. Hal itu memperlihatkan bahwa otonomi khusus vs pemekaran wilayah di Papua adalah memang bukan untuk rakyat pribumi Papua. Otonomi vs pemekaran wilayah di Papua membuka kesempatan teori klasik mengenai kebijaksanaan transmigrasi yang telah berlangsung di Papua (Gani, Transmigrasi: Peluruh Tanpa Suara). Lebih parah lagi adalah transmigrasi yang tidak terprogram untuk mengisi daerah-daerah pemekaran baru di tanah Papua dengan 40-an juta penganggur yang ada di Indonesia. Kelaparan, penyebaran penyakit menular, penyelewengan anggaran, perbenturan budaya, budaya proposal, konflik dalam keluarga, dan berbagai tetek-bengek lainnya adalah penyakit sosial di daerah-daerah pemekaran di Papua. Karena rakyat tahu bahwa otonomi vs pemekaran itu bukan untuk orang Papua maka rakyat telah mengembalikannya. Apa kata rakyat Papua ketika bicara tentang otonomi dan pemekaran. "Ah kam stop bicara Otonomi ka. Otonomi kan tong su kambalikan ke Jakarta (Indonesia) dorang. Sekarang yang ada tu, kebanjiran wang untuk beli Avanza buat para pejabat dorang. Kalau yang tra dapat mobil, dong minta pemekaran ke Jakarta atas nama torang rakyat kecil ne. Tapi pokoknya, otonomi ka, pemekaran ka tong su kambalikan, bukan untuk kitorang orang Papua."Pemekaran bukan seperti arti pemekaran yang tersurat dalam lembaran proposal pemekaran. Kasus Yahokimo, misalnya adalah bukti dari pemaksaan itu. Lihat juga kasus pertikaian di Timika pada 2003. Orang-orang yang kecewa di Jayapura pergi ke Manokwari dan membentuk Irian Jaya Barat. Kata Irian Jaya Barat muncul dan memunculkan tanda tanya baru bagi dunia. Di mana Irian Jaya Utara. Di mana Irian Jaya Selatan. Di mana Irian Jaya Timur. Bahkan ada seorang bapak pernah berkata, "dorang buat pulau baru di daerah pasifik ka pa? Abis di tanah ini (Papua) su trada Irian Jaya lagi jadi. Kini Irian Jaya Barat mau diganti lagi dengan Papua Barat." Robin Osborne dalam bukunya berjudul, Kibaran Sampari (2001) dan George Junus Aditjondro dalam bukunya berjudul Cahaya Bintang Kejora (2000) mengatakan Papua Barat adalah nama negara dari Papua yang pernah merdeka. Di Manokwari inilah pada tanggal 28 Juli 1965 OPM (Organisasi Papua Merdeka) lahir. Kelahirannya ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751-- Brawijaya. Karena secara de facto Pemerintah Indonesia membiarkan Irian Jaya Barat terus berjalan maka akhirnya Pemerintah Indonesia yang juga melegalkan. Karena caranya mudah, maka beberapa orang yang kecewa dengan Irian Jaya Barat melalui beberapa pensiunan pejabat di provinsi Papua membangun wacana pemekaran Papua Barat Daya di Sorong. Sementara itu, bupati Merauke dengan wacana Papua Selatan, bupati Nabire juga membangun wacana pemekaran Irian Jaya Tengah yang sebenarnya telah gugur demi hukum. Selain, wacana pemekaran provinsi, DPR mengusulkan 16 daerah baru untuk dimekarkan pada 2007. Dari 16 daerah yang diusulkan 6 di antaranya berada di Papua, yaitu Nduga, Lanny Jaya, Yalimo, Mamberamo Tengah, dan Puncak. Anggota Komisi II DPR Tony Wardoyo (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Papua) mengatakan, tak ada alasan signifikan untuk menolak calon daerah baru di Papua untuk dimekarkan. Selanjutnya, Tony mengatakan, pemerintah provinsi Papua siap membiayai pemekaran daerah baru. Sehari sebelum Tony Wardoyo berkomentar, anggota Dewal Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) Deddy Supriady Bratakusumah, mengatakan, kelayakan daerah baru untuk dimekarkan dilihat dari berbagai syarat, antara lain: administrasi, aspek teknis dan aspek kewilayahan, skor minimal potensi dan kemampuan ekonomi. Di darah Papua misalnya, ada daerah tertentu yang potensi dan kemampuan ekonomi itu ada di daerah baru. Hal ini dikawatirkan dapat mematikan kabupaten induk bila dimekarkan. Apalagi beberapa kabupaten yang diusulkan dari Papua itu berupa pegunungan. Belum lagi berbicara masalah administrasi, aspek teknis, dan skor minimal potensi dan kemampuan ekonomi. Selain syarat mutlak, beberapa daerah baru yang diusulkan oleh elit lokal melalui DPR itu memiliki berbagai mesalah. Masalah utama adalah pemaksaan kehendak dan pemaksaan keadaan. Rakyat Papua menunggu komitmen Presiden SBY untuk menyelesaikan masalah Papua. Entah dialog nasional atau penyelesaian dengan mengacu pada UU No. 21/2001. Dalam kaitannya dengan UU No. 21/2001, ujian bagi SBY adalah membatalkan Irian Jaya Barat dengan mencabut Inpres 1/2003 yang memberlakukan kembali UU 45/1999 yang telah batal demi hukum sejak diundangkannya UU 21/2001 tentang otonomi khusus Papua. Serta membatalkan beberapa daerah yang telah dimekarkan dan enam daerah baru yang diusulkan DPR. Rakyat Papua sudah mengetahui rencana revisi UU No 21/2001 ini hanya punya satu tujuan, yakni melegalkan pemekaran Irian Jaya Barat yang sebenarnya batal demi hukum. Selain itu, membuka kesempatan pemekaran Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Selatan dan Papua Bagian Barat Daya. Akhirnya, UU No. 21/2001 yang sengaja melegalkan pemekaran itu untuk para elit lokal bagi-bagi jabatan, bagi-bagi uang rakyat. Rakyat Papua bukan orang bodoh, mereka tahu bahwa pemekaran wilayah di Papua membuka kesempatan teori klasik mengenai kebijaksanaan transmigrasi yang tidak terprogram untuk mengisi daerah-daerah pemekaran baru di tanah Papua dengan jutaan pengangguran yang ada di Jawa dan daerah lain luar Papua. Orang Papua mulai mengerti bahwa memang semakin hari semakin tidak punya masa depan. Orang Papua benar-benar miskin harta, miskin harga diri di tanah itu (Papua). Namun, orang Papua telah, sedang, dan terus belajar untuk memilih dialog (untuk menentukan nasib sendiri) atau UU No. 21/2001. Yermias Ignatius DegeiMahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sophi_melanesia@yahoo.com (msh/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads