Bagi kami, lahir dan besar di jalur gempa klop dan melekat dengan ujaran "Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak". Getaran gempa biasa terasa setiap minggu atau lebih sering dari skala yang ringan hingga yang sangat kuat (penyebab Tsunami 2004).
Sejak kecil, naluri sadar gempa sudah terpatri dalam sanubari dan merupakan hal biasa. Saya yakin itulah alasan sehingga rata-rata gedung dan rumah di pesisir Barat Aceh dan Sumut dibangun menggunakan bahan kayu dan atap seng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kearifan alam itu lazim berlaku dari jazirah Aceh, Sumut, Sumbar dan pulau Perca, Sumatera. Sejalan dengan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang meningkat, penduduk berlomba-lomba membangun rumah beton, bertingkat pula.
Hemat saya, dari sinilah awal mula meruaknya korban bencana. Setiap gempa timbul, cukup banyak bangunan yang roboh menimpa penghuninya hingga timbul korban jiwa seperti saat ini.
Oleh karena itu saya usulkan sebaiknya pemerintah kembali mensosialisasikan perlunya menyikapi kearifan alam dan petuah leluhur, agar rakyat membangun rumah dari bahan kayu yang lebih tahan gempa untuk meminimalisir korba jiwa pada saat gempa terjadi.
Berumah kayu sederhana tidak perlu malu disebut miskin, karena bagaimanapun keselamatan jiwa kita jauh lebih utama daripada sekedar gengsi dan harga diri.
Sahat Sitorus
Pengamat masalah sosial
sahatsitorus2015@yahoo.com (wwn/wwn)











































