Remisi dan Korupsi

Remisi dan Korupsi

- detikNews
Senin, 05 Sep 2011 11:19 WIB
Jakarta - Pantas saja jika negeri ini tak pernah sepi dari kejahatan, mulai dari kejahatan kelas teri hingga kejahatan kelas kakap yang merusak bangsa. Karena memang pemerintah gemar melakonkan inkonsistensinya dalam supremasi hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi.

Menurut data Ditjen Pemasyarakatan, dari total 85.755 Napi yang terdapat di seluruh Indonesia, lebih dari setengahnya yaitu sebanyak 44.423 mendapat remisi dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriyah. 1.229 diantaranya dinyatakan langsung bebas, sisanya 43.423 Napi, masih harus menjalani sisa masa tahanan.

Yang sangat mengecewakan dari pemberian remisi tersebut, karena koruptor yang merupakan pelaku oxtraordinary crime (kejahatan luar biasa) juga mendapat remisi. Diantaranya, sebanyak 235 napi koruptor mendapat potongan masa tahanan, dan bahkan 8 napi koruptor langsung bebas setelah menikmati "bonus lebaran" tersebut dari pemerintah, yaitu Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada beberapa aturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum atas pemberian remisi tersebut, yaitu di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1999 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara dan Syarat Pelaksanaan Hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Disebutkan bahwa salah satu syarat napi yang bisa mendapat remisi adalah berkelakuan baik.

Jika kita konfrontir dengan pemberian efek jera pada koruptor, dengan logika sederhana bisa kita nalar bahwa pemberian remisi dengan alasan berkelakuan baik tersebut justru sama sekali menghilangkan efek jera pada para koruptor.

Karena saat dihukum, dengan mudah mereka pura-pura berkelakuan baik untuk kemudian mendapat kompensasi. Celah-celah hukum seperti ini, menjadi angin segar bagi para koruptor.

Mencoreng Supremasi Hukum

Daftar hitam inkonsistensi pemerintah dalam supremasi hukum di Indonesia memperlihatkan jika bukan kali ini saja pemerintah melakukan tindakan kontraproduktif dan bahkan paradoks dengan apa yang dikoar-koarkan selama ini tentang pemberantasan korupsi.

Masih segar dalam ingatan kita tentang putusan akrobatik pemerintah dua pekan lalu yang "mencoreng" wajah supremasi hukum dan spirit pemberantasan korupsi di negeri ini dengan memotong masa tahanan 419 narapidana (Napi) koruptor dan bahkan membebaskan 21 orang napi koruptor lainnya atas alasan remisi dalam rangka HUT Proklamasi RI ke 66.

Hal tersebut membenarkan pameo "Beda negara, beda hukuman untuk koruptor . Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan, di China koruptor dipotong leher, di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan dan dibebaskan".

Putusan akrobatik pemerintah tersebut dilakukan di tengah berbagai kampanye perang melawan korupsi, sementara terjadi degradasi kepercayaan (distrust) pada lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi. Tindakan itu hanya membuka borok dan kepura-puraan pemerintah yang selalu mengampanyekan supremasi hukum dan fight against corruptor/corruption.

Di dalam berbagai forum, Presiden SBY begitu semangat menyampaikan pidato retoris dan teoritis soal supremasi hukum, khususnya pemberantasan korupsi.

Diantaranya saat rapat bersama anatara DPD dan DPR (16/8/2011) lalu, Presiden SBY menyitir pencapaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terus membaik dari tahun ke tahun. "Transparency International (TI) memberikan skor IPK 2,0 pada 2004 membaik menjadi 2,8 pada 2010," katanya. Presiden SBY bahkan menyebutkan capaian IPK Indonesia tertinggi di antara negara ASEAN lainnya.

Tidak hanya itu, kumandang pemberantasan korupsi juga didengungkan Presiden SBY saat memberikan sambutannya dalam konferensi internasional bertema "Pemberantasan Praktik Penyuapan Pejabat Asing Dalam Transaksi Bisnis Internasional". Di Nusa Dua Bali, Selasa (10/5/2011) yang lalu.

Saat itu, di hadapan 35 delegasi Negara asing, SBY menegaskan bahwa melawan korupsi sudah menjadi dasar dari pemerintahannya. Menurut SBY, memerangi korupsi bukan hanya perintah moral, tetapi juga perintah demorkasi, politik, sosial, dan ekonomi.

Lucunya, pemerintah sendiri yang membuktikan bahwa klaim dan pidato dari podium ke podium tersebut ternyata hanya pepesan kosong. Dari rangking yang dirilis berbagai lembaga tentang tingkat korupsi, Indonesia terus saja bertengger di posisi atas.

Misalnya survey internasional pada bulan Juni 2011 yang dilakukan oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis, Indonesia menempati negara terkorup ke 47 dari 66 negara di dunia dan terkorup ke 2 dari 13 negara di Asia Pasifik seperti dilansir United Press International, Selasa (14/6/2011).

Secara faktual, publik juga telah berkali-kali menyaksikan lambannya gerak pemerintah –yang selalu butuh desakan publik- untuk menangani sejumlah kasus korupsi kelas kakap. Hal ini semakin memperkuat indikasi tidak serius dan tidak sinergisnya elemen-elemen penegak hukum dalam memerangi korupsi.

Fakta lain memperlihatkan kian hari kasus korupsi kian menggurita, hingga ke orang-orang dekat istana seperti Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Gurita korupsi juga ditandai dari bertambahnya pejabat-pejabat daerah yang terlibat tindakan extraordinary crime ini.
Data dari Kementrian Dalam Negeri, saat ini 160 Kepala daerah yang berstatus tersangka, terdakwa, terhukum dari 524 Gubernur, Bupati dan Walikota yang tersandung kasus korupsi sejak tahun 2004 (detik.com).

Setali tiga uang, aparat "penegak hukum" pun menjadi sapu kotor, tak luput dari oknum koruptor. Dalam 1 kasus saja, yaitu kasus mafia pajak Gayus Tambunan, tak kurang dari 15 orang aparat hukum yang terlibat jual beli perkara sebagaimana diungkapkan Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supanji. Sebutlah misalnya Cirus Sinaga dan Poltak Manulang (antikorupsi.org)

Intervensi Politik

Di tengah berbagai ironi dan paradoks pemberantasan korupsi yang membadai hingga merusak sendi-sendi kehidupan bangsa, proses seleksi calon pimpinan KPK juga hampir rampung. Akan terpilih empat dari delapan orang hasil seleksi Panitia Seleksi (Pansel) KPK. Anggota Pansel sendiri merupakan tokoh-tokoh yang dikenal luas kredibilitasnya di masyarakat, sehingga hasil seleksi tersebut bisa kita percaya.

Titik krusial yang kemudian perlu mendapat pengawalan dari masyarakat adalah proses penentuan nama tersebut di tangan DPR. Sementara DPR selama ini dikenal sebagai lembaga yang banyak dihuni oleh koruptor. Oleh karenanya, menjadi menarik karena hal ini sekaligus menjadi tantangan dan ujian bagi kredibilitas kedua lembaga tersebut, DPR dan KPK.

Pertama, apakah DPR akan memilih berdasarkan objektifikasi dari hasil rangking Pansel yang menurut keterangan Pansel sistem rangking tersebut dilakukan untuk menjaga moral proses politik di DPR? Ataukah DPR memiliki persepsi tersendiri dan memilih berdasarkan seleranya?

Sedang rangking yang dilakukan Pansel merupakan bahasa non verbal jika yang menempati urutan pertama hingga ke empatlah yang paling layak. Sedangkan urutan ke lima hingga delapan memiliki perbedaan, seperti beda antara langit dan bumi dengan empat teratas sebagaimana dikatakan Rhenald Kasali, salah seorang anggota Pansel KPK.

Kedua, independensi KPK terhadap berbagai pengaruh dan intervensi politik nantinya akan nampak dari keberanian pimpinan KPK yang akan terpilih untuk menyelesaikan sejumlah kasus yang selama ini terkatung-katung dan (diduga) melibatkan sejumlah politisi Senayan dan parpol tertentu.

Sebutlah misalnya skandal dana talangan Bank Century, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI yang belum ditemukan dan ditangkap otak utamanya dan yang terbaru, pimpinan KPK yang akan terpilih nantinya sudah ditunggu oleh tugas menyelesaikan kasus korupsi mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin.

Sebagai lembaga hasil derivasi dari visi reformasi yaitu didirikan untuk supremasi hukum, maka kita menanti KPK merealisasikan ekspektasi rakyat Indonesia yang telah memberi wewenang luas dalam memberantas korupsi. Termasuk juga bagaimana KPK mampu menjalin sinergitas dengan lembaga yudikatif lainnya seperti Kejaksaan dan Polri.

Di sisi lain, pihak pemerintah yang juga memiliki agenda pemberantasan korupsi, harus mewujudkan sinergitas dengan lembaga yudikatif serta legislatif. Satunya antara kumandang perang dan tindakan melawan korupsi yang didengung-dengungkan pemerintah (eksekutif) tidak lepas dari sinergitas tiga lembaga tersebut agar tidak lagi terjadi ironi, seperti remisi kepada koruptor yang menggambarkan tidak adanya sinergitas tersebut.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)


Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads