Setelah reda beberapa tahun, konflik bersenjata antarkedua negara meletus kembali. Sebagaimana diberitakan oleh media, pada 5 Februari 2011, kedua militer saling tembak di dekat Preah Vihear.
Dalam aksi tembak sekitar 3 jam itu, dikabarkan seorang tentara Kamboja tewas. Sedang di pihak lain dikabarkkan seorang warga Thailand juga tewas akibat serangan bom artileri dan lima tentara Thailand mengalami luka-luka. Kedua negara saling menuduh bahwa mereka yang memulai.
Β Β Β Β Β Β Β Β Β
Preah Vihear bagi kedua negara merupakan sebuah asset yang tak ternilai harganya, sehingga mereka rela mengorbankan jiwa untuk tetap memilikinya. Pada tahun 2003, kedua negara juga pernah saling menarik para duta besarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian pada Juli 2008, kedua negara militer melakukan aksi saling tembak. Akibatnya korban jiwa pun ada yang jatuh. Dalam bentrokan itu diceritakan, tentara Thailand dan Kamboja, dalam posisi jarak dekat dan berhadap-hadapan, saling tembak di sepanjang wilayah perbatasan selama 10 menit, di dekat Preah Vihear.
Hubungan kedua negara semakin memanas ketika mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menjadi penasehat ekonomi Kamboja akhirnya membuat hubungan kedua negara dalam pekan-pekan ini menjadi semakin memanas. Pengangkatan Thaksin itu dikatakan oleh Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva sebagai bentuk mencampuri urusan dalam negeri Thailand.
Thaksin sendiri oleh Thailand dinyatakan sebagai buron yang sebelumnya sudah dinyatakan bersalah dalam pengadilan in absentia. Sebab negeri Gajah Putih itu tersinggung maka Thailand menarik dutabesarnya dari Kamboja. Mendapat perlakuan seperti itu, Kamboja pun membalas juga dengan menarik dutabesarnya di Thailand.
Konflik antara Thailand dan Kamboja ini dirasa oleh anggota Asean, Singapura, sebagai sesuatu yang tidak baik bagi masa depan Asean. Tak hanya Singapura sebagai sahabat di Asean yang merasa prihatin. Jepang pun demikian. Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama juga mengungkapkan rasa prihatinannya atas memburuknya hubungan antara Kamboja dan Thailand.
Namun kalau diselusuri, apa yang dilakukan oleh Kamboja dan Thailand adalah sebuah cara untuk mempertahankan harga diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Dan di sinilah cara-cara itu perlu mendapat apresiasi. Kalau meminjam istilah dari Indonesia, NKRI Adalah Harga Mati.
Bila masalah itu tidak dilakukan secara tegas, bisa jadi hubungan antara Thailand dan Kamboja justru malah terjerumus dalam hubungan yang penuh kepurapuraan. Mereka meski sebagai tetangga yang berada di wilayah Sungai Mekong dan sesama anggota Asean, mereka rela mengorbankan jiwa untuk negaranya.
Diplomasi Indonesia: Keluar Bisa, Ke Dalam Tidak
Ketika konflik Thailand dan Kamboja terjadi, peran Indonesia sebagai Ketua Asean dipuji oleh banyak kalangan. Kesuksesan Indonesia sebagai mediator konflik tercapai ketika Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mampu mendamaikan kedua negara di PBB pada 14 Februari 2011.
Kemudian pada 22 Februari 2011, diadakan pertemuan para menteri luar negeri se-Asean di Jakarta yang membahas masalah sengketa Thailand dan Kamboja. Indonesia dikatakan bisa mendamaikan masalah sengketa wilayah Thailand dan Kamboja, namun ketika dirinya mempunyai masalah sengketa wilayah dengan negara lain, terutama Malaysia, justru tidak bisa berbuat banyak.
Bahkan terkadang merugikan dirinya sendiri. Lihat saja ketika ada data-data delegasi Indonesia yang dicuri di Korea Selatan, media-media negeri gingseng itu memberitakan bahwa yang mencuri adalah NIS (badan intelijen Korea Selatan). Anehnya pemerintah Indonesia merasa tidak mengalami pencurian data-data penting dan menganggap hal yang biasa.
Bila Indonesia mempunyai harga diri seharusnyaΒ protes secara resmi bila perlu membatalkan rencana pembelian pesawat tempur buatan Korea Selatan. Bila Thailand dan Kamboja demi harga diri wilayahnya mereka bersikap tegas, Indonesia justru lunak kepada Malaysia.
Buktinya dalam Pidato Presiden SBY di Mabes TNI tahun 2010. Padahal Malaysia sering melakukan pelanggaran kedaulatan Indonesia. Akar memanasnya hubungan antara Thailand dan Kamboja adalah soal wilayah dan perbatasan kemudian merembet kepada masalah yang lain.
Pun demikian antara Indonesia dan Malaysia demikian, dari soal perbatasan dan wilayah hingga soal (penyiksaan) TKI. Namun Indonesia, anehnya tidak pernah melakukan tindakan tegas kepada Malaysia.
Bila Thailand saja berani menarik duta besarnya, mengapa kita tidak? Dari soal wilayah saja, Malaysia telah banyak mengklaim wilayah Indonesia milik Malaysia.
Selain masalah Perairan Ambalat dan Pulau Jemur yang sudah lama diklaim milik Malaysia, diberitakan di 10 lokasi perbatasan darat di Kalimantan, yang berada di wilayah Indonesia yakni di Tanjung Datu, D400, Gunung Raya, Sungai Buah, Batu Aum, C500-C600, B2700-B3100, Sungai Simantipal, Sungai Sinapad, dan Pulau Sebatik, diklaim milik Malaysia.
Bila Malaysia dibiarkan dengan menempuh langkah-langkah diplomatik, dan apabila berhasil mengklaim di 10 wilayah yang berada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur itu maka Indonesia akan kehilangan ratusan ribu hektar wilayah darat.
Namun karena Indonesia tidak berani mengambil langkah dan sikap seperti Thailand dan Kamboja maka permasalahan perbatasan justru dalam penyelesaian yang penuh kepurapuraan. Semua masalah, antara Indonesia dan Malaysia, selesai hanya pada tingkat saling maaf-maafan, tanpa kejelasan cerita, hidup atau mati, kalah atau menang.
Bila demikian, masalah perbatasan Indonesia-Malaysia akan terus terulang sebab permasalahnya tidak pernah dituntaskan dengan perjanjian atau hitam di atas putih dan atau Indonesia tidak pernah melakukan sikap tegas kepada Malaysia.
Haruskah Indonesia bersikap tegas kepada Malaysia? Jelas harus. TNI AL pernah mencatat, di tahun 2009 Malaysia melakukan 13 kali pelanggaran, tahun 2008 terjadi 23 kali pelanggaran, dan tahun 2007 terjadi 76 kali pelanggaran, namun Indonesia belum pernah melakukan tindakan tegas, misalnya melakukan tembakan.
Padahal dalam hukum, bila sudah diberi peringatan 3 kali tidak mengindahkan maka berhak dilakukan tembakan. Namun semuanya berakhir secara damai atau happy ending setelah diplomasi yang dilakukan kedua belah pihak.
Pihak Indonesia ngotot menyatakan Ambalat milik Indonesia, sementara pihak Malaysia menyatakan minta maaf bila telah melakukan pelanggaran batas wilayah patroli KD-nya. Pihak Indonesia yang sudah berulang kali dilecehkan pun, ya..ya.. saja ketika negeri jiran itu minta maaf.
Rakyat Kamboja saja marah besar dan sampai membakar Kedutaanbesar Thailand, padahal masalahnya cukup sepele, hanya pengklaiman Candi Angkor Watt milik Thailand, dan itu pun hanya diucapkan dari mulut seorang artis Thailand saja.
Ardi Winangun
Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur.
ardi_winangun@yahoo.com
08159052503
(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini