Caleg Aktivis

Caleg Aktivis

- detikNews
Jumat, 12 Sep 2008 09:45 WIB
Jakarta - Dunia politik memang sangat menggiurkan. Sebab, status sebagai politisi membuat orang menjadi terkenal seperti selebritis. Posisi tersebut akan membuat orang menjadi dipentingkan. Ia memiliki "prestise" yang tak dipunyai banyak orang.

Karena alasan itulah hari ini orang berbondong-bondong memasuki dunia politik. Mulai dari politisi murni, individu biasa, profesional, akademisi, bahkan artis tertarik untuk meramaikan dunia politik dan menahbiskan dirinya sebagai politisi atau calon politisi.

Mereka berlomba-lomba mengadu peruntungan sebagai wakil rakyat. Di antara antrian panjang menuju tahta kekuasaan tersebut. Salah satu spesies yang banyak disoroti adalah caleg dari kalangan aktivis [mantan aktivis 1998].

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah aktivis 1998 yang menjadi caleg itu antara lain, mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik [PRD] Budiman Sudjatmiko [PDIP], Sekjend Pena 1998 Adian Napitupulu [PDIP], mantan aktivis FPPI Masinton [PDIP], korban penculikan 1997-1998 Pius Lustrilanang, dan Desmond J Mahesa [Gerindra], mantan aktivis UI, Indra J. Philiang [Golkar], mantan aktivis Famred Wahab Thalaohu dan Tenri [PDI-P], aktivis Forkot Lutfi [Golkar], mantan aktivis Pijar Haikal [Demokrat], mantan aktivis buruh Dita Indah Sari [PBR], mantan Ketua Umum HMI Anas Urbaningrum [Demokrat] dan sederet nama lainnya.

Dalam beberapa diskusi, tulisan dan berita-berita, muncul sejumlah alasan mengapa mereka beramai-ramai masuk partai dan menjadi caleg. Menurut mereka, di zaman reformasi ini, pola gerakan sosial yang dulu mereka usung harus diubah menjadi "gerakan politik." Sebab, hanya dengan gerakan politiklah kekuasaan dapat diraih. Dengan masuk ke dalam sistem kekuasaan, mereka dapat mengawal, memberikan koreksi serta idealitas dalam memperjuangkan suara rakyat.

Apa pun alasan dan pertimbangannya, dalam alam demokrasi seperti sekarang sah-sah saja para mantan aktivis itu terjun ke politik praktis. Hal itu adalah bagian dari hak politik mereka sebagai warga negara. Keputusan mereka terjun menjadi caleg ini pun dinilai penting bagi kaderisasi kepemimpinan nasional.

Di sisi lain, ketika para mantan aktivis masuk ke dalam sistem politik, ada dua hal yang perlu dicermati.

Pertama, memperbaiki sistem dari dalam bukanlah pekerjaan yang gampang. Sebab, meminjam pandangan Edward Shils (1972), praktek politik di Indonesia bukanlah "lahan subur" untuk memperjuangkan idealitas dan perjuangan.

Oleh sebab itu, ketika masuk dan menjadi bagian dari sistem, dikuatirkan para mantan aktivis tersebut akan "mabuk" dan terlena dengan kekuasaan. Atau dengan kata lain, perjuangan dan idealitas yang mereka usung akan tenggelam dalam lingkaran setan [vicious circle] kekuasaan. Sejarah membuktikan, aktivis angkatan 66 yang masuk ke DPR tidak ada apa-apanya. Dan, aktivis 1998 yang masuk ke DPR hasil Pemilu 2004 juga biasa-biasa saja.

Dalam hal ini, kita patut mengingat tulisan almarhum Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa; "telah bersumpah kami menjadi gerakan angkatan muda. Sebab semua percuma, toh harus diperintah oleh angkatan tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Sepandai-pandainya ahli yang berada dalam kekuasaan bodoh akan ikut jadi bodoh."

Kedua, ketika para aktivis masuk ke dalam sistem politik, kita akan kehabisan manusia independen yang mendudukkan dirinya di posisi tengah-tengah antara rakyat dan pemerintah. Kita akan kekurangan manusia yang mampu menjaga jarak secara adil dan seimbang apabila terjadi konflik antara penghuni bangsa ini.

Sebab, walaupun politik adalah suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik tetapi kenyataan di negara kita masih jauh panggang dari api. Alih-alih para politisi menegakkan dan hidup dengan moralitas publik, mereka justru menempatkannya sebagai asesoris yang tak perlu diimani.

Dengan dua pertimbangan di atas, ada baiknya para mantan aktivis tersebut memikirkan kembali pilihannya. Jika orientasi politik mereka hanyalah untuk memenuhi hasrat pragmatisme belaka atau hanya sebuah petualangan politik, lebih baik tenaga, pikiran dan hartanya diwakafkan untuk membuat barisan "gerakan sosial baru" yang jelas visi dan keberpihakannya.

R Adie Prasetyo
Jl Mampang Prapatan 4/80 Jakarta Selatan
nusantaracom@yahoo.com
081510991945

(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads