Bukan Dicintai, Tapi Menang
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Bukan Dicintai, Tapi Menang

Selasa, 23 Okt 2007 12:43 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Menjelang Pemilu 2009, sejumlah daerah di Indonesia, baik tahun 2007 ini maupun tahun 2008 mendatang, melangsungkan pesta politik berupa pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun, meskipun pemilihan langsung kepala daerah ini merupakan hal baru bagi rakyat Indonesia, tapi para calon bukan hanya mencari pengalaman, mereka bertekad memenangkan pertarungan. Jadi, tak heran, ada pernyataan bakal calon di Sumatra Selatan, seperti ini,"Saya bukan ingin dicintai, tapi ingin menang." Pernyataan atau kesadaran ini, mungkin juga diyakini para calon di daerah lain, seperti di Makasar, Medan, Bengkulu, atau di DKI Jakarta yang telah usai melangsungkan pemilihan.Sepintas pernyataan tersebut cukup mengejutkan dan mengherankan. Namun, bila menelisik pemikiran seorang filsuf asal Italia pada abad pertengahan yakni Niccolo Machiavelli (1469-1527), pemikiran aktor politik di atas itu cukup cerdas dan benar. Melalui buku miliknya, Il Principe (Sang Pangeran), Machiavelli menyimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara politik dengan moralitas, apalagi terkait soal cinta dan menyintai. Tepatnya, Machiavelli mencampakkan jauh-jauh aspek moral dan etika dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan. Meskipun pada 1559, Paus melarang peredaran buku Il Principe, tapi pemikiran itu sangat memengaruhi para penguasa maupun politikus di Eropa saat itu.Dalam pandangannya, seorang penguasa semestinya hanya berorientasi pada kekuasaan, dan hanya mematuhi aturan yang akan membawa kesuksesan politik. Penguasa harus kikir dan kejam dalam menghukum, tanpa belas kasihan. Intinya, lebih baik menjadi penguasa yang ditakuti daripada dicintai. Bahkan, kata Machiavelli, kebaikan bisa mengakibatkan kejatuhan. Inti ajaran politik dari Il Principe adalah penguasa harus tidak segan-segan menipu guna mempertahankan kekuasaan. Kunci KemenanganBeranjak dari prinsip dasar pemikiran Machiavelli, saya memiliki sejumlah saran kepada para calon kepala daerah untuk memenangkan pertarungan politik itu. Saran-saran ini, seperti diajarkan Machiavelli, tidak boleh dilihat dari sisi moral atau etika. Pertama, seorang calon harus mengeluarkan berbagai kebohongan sehingga publik menjadi senang atau memiliki mimpi soal kesejahteraan dirinya. Janjikan apa yang terkait dengan penderitaan atau persoalan yang dialami publik. Bila perlu, gunakan jargon-jargon agama sebagai jaminan janji tersebut. Tentunya harus dicari dalil-dalil agamanya sehingga janji itu tampak menyakinkan. Kedua, bila ada publik, kelompok, atau perorangan, yang mencoba membusuki atau diperkirakan dapat menghambat kemenangan, sebaiknya ditanggapi dengan kekerasan. Misalnya teror, intimidasi, pemukulan, bahkan bila diperlukan ancaman membunuh sehingga kekuatan yang menghambat ini menjadi ketakutan. Ketiga, bila si calon memiliki banyak dana--baik hasil simpanan maupun sponsor dari pihak lain--sebaiknya melakukan sogok. Baik sogok terhadap publik, pejabat, pers, LSM, kaum profesional lainnya. Tapi, agar sogok ini efektif, sebaiknya diimbangi oleh teror. Bila tidak diimbangi dengan teror, sogok itu mungkin akan dihabisi oleh prinsip, "Ambil uangnya, soal memilih nanti dulu". Saya percaya, bila ada calon yang menjalankan prinsip tersebut dia akan terpilih. Apalagi, saat ini kondisi masyarakat Indonesia berada dalam "kebingungan nilai". Sebuah masyarakat yang setiap hari mengalami kontrakdiksi; otak memikirkan surga, tapi mulut memakan buntang atau kotoran. Yang harus diingat, publik tidak akan pernah puas dengan apa yang diberikan pemimpinnya. Publik selalu akan menilai apa yang belum diberikan, dan menepiskan apa yang telah diberikan. Pemimpin yang selalu memikirkan kepentingan publik atau mengedepankan moral dan etika, secara historis kekuasaannya tidak langgeng. Tapi, yang sebaliknya, yang menjalankan prinsip politik seperti dalam Il Principe, dia akan merasakan nikmatnya merebut atau mempertahankan kekuasaan, seperti Firaun, Napoleon Bonaparte, Benito Mussolini, Stalin, Hitler, Benito Mussolini, Mao, Polpot, para raja Sriwijaya, Majapahit, atau kerajaan di Nusantara pada masa lalu, serta mungkin juga seperti Soekarno dan Soeharto. Bagaimana kalau seorang calon tidak menggunakan tiga cara di atas, atau memusuhi pemikiran Machiavelli? Saya pikir mereka akan kalah. Misalnya dia jujur bahwa dirinya sulit mewujudkan lapangan pekerjaan, memberantas korupsi, menggratiskan fasilitas publik, kemudian dia diam saja ketika namanya dijelekkan oleh lawan politiknya, diam saja ketika spanduk, poster, baliho miliknya dihancurkan lawan politiknya, lalu dia pun berharap massa pendukungnya membiayai sendiri saat menghadiri kampanye dirinya, seperti membeli kaos, makanan, transportasi, dan sebagainya. Saya percaya, memang masih ada yang memilih atau memberikan dukungan kepada aktor politik seperti ini. Tapi, kalau ingin menang, saya pikir sulit sekali diwujudkan. Apalagi aktor demokrasi yang ada saat ini, seperti yang disimpulkan para peneliti Demos (LSM Indonesia yang melakukan penelitian soal aktor demokrasi di Indonesia selama 10 tahun terakhir), semuanya dalam keadaan mengambang alias demokrat mengambang, tidak membumi. Artinya, sebagai aktor demokrasi mereka tidak memiliki alat produksi, tidak memiliki massa yang terikat, dan tidak memiliki akses ekonomi dan politik, yang meluas. Aktor demokrasi yang ada saat ini, masih sebatas aktor "wacana" sehingga seperti yang disinggung Gus Dur, negara ini pun menjadi "negara wacana".Tidak percaya? Coba hitung berapa anggota legislatif atau senator dari kalangan aktor demokrasi yang dipilih rakyat dalam Pemilu 2004 lalu. Mereka kalah dari seorang mantan pegawai negeri, mantan pengusaha, mantan preman, bahkan seorang ibu rumah tangga. Bila pun kekalahan itu lebih disebabkan adanya politik uang, itu membuktikan mereka benar-benar mengambang.Tiga usulan saya di atas akan gugur, bila para calon kepala daerah yang bertarung bukan semata buat meraih kekuasaan, melainkan sebagai ajang pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia, sehingga dirinya dicintai rakyat sebagai pemimpin, meskipun tidak duduk sebagai walikota, bupati, gubernur, maupun presiden. Keterangan Penulis:Penulis adalah wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja. (Taufik Wijaya/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads