×
Ad

Kolom

Tahun Baru Dewi Themis

Rio Christiawan - detikNews
Rabu, 31 Des 2025 07:01 WIB
Foto: dok. Wikipedia
Jakarta -

'Dewi Themis dalam mitologi Yunani digambarkan sebagai dewi keadilan yang melindungi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu'.

Pertama-tama saya sampaikan rasa syukur saya, karena pada penghujung tahun 2025 saya masih dapat meninggalkan jejak akademis berupa refleksi kritis di bidang hukum di tahun 2025 dan harapan pembangunan hukum di tahun 2026.

Melalui kolom singkat ini saya lebih cenderung pada penggunaan istilah Pembangunan hukum 2026, karena istilah pembangunan hukum itu sendiri lebih memberikan optimisme pada masyarakat.

Secara filosofis, sejak istilah pembangunan hukum diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Profesor Mochtar Kusumaatmadja menunjukkan bahwa pada hukum memang ditujukan untuk membawa kehidupan manusia yang lebih baik, atau sering disebut sebagai beyond law and order.

Kembali pada fokus refleksi hukum di tahun 2025, kolom saya ini berfokus pada dua hal. Pertama pada fenomena penegakan hukum dan, kedua pada fenomena substansi hukum. Saya menyebutnya sebagai fenomena karena terdapat kemungkinan perubahan gejala, kecenderungan (trend) maupun implementasi dari dua hal tersebut.

Penegakan hukum dan substansi hukum adalah pembahasan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat menilai penegakan hukum dan substansi hukum secara terpisah begitu saja.

Penegakan hukum di tahun 2025, secara umum menunjukkan tren yang lebih baik. Hal menarik yang patut disimak dalam penegakan hukum di tahun 2025 adalah adanya kolaborasi yang baik antara fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam penegakan hukum sehingga keadilan dapat diterima masyarakat.

Rehabilitasi yang diberikan Presiden kepada dua guru ASN di Luwu Utara merupakan contoh yang baik bagi optimisme pembangunan hukum yang ditopang tiga pilar utama demokrasi.

Sekaligus hal ini merupakan bukti bahwa keadilan 'masih dapat' menyentuh seluruh lapisan masyarakat sekaligus menunjukkan bahwa sejatinya fungsi check and balances antara fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif masih berjalan sesuai dengan semangat demokrasi.

Harapan di tahun 2026 adalah penegakan hukum yang berkeadilan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Penulis memahami dalam penegakan hukum selalu diwarnai adanya anomali namun harapannya anomali penegakan hukum yang tidak ideal jumlahnya jauh lebih sedikit. Idealnya, pembangunan hukum melalui penegakan hukum di tahun 2026 terbentuk persepsi di masyarakat bahwa penegakan hukum yang baik bukanlah sebuah anomali, namun sebaliknya akan dianggap sebagai anomali jika terjadi penegakan hukum yang tidak baik.

Membangun Hukum Melalui Substansi

Refleksi dan harapan Pembangunan hukum melalui penegakan hukum tidak terlepas dari substansi hukum itu sendiri. Penegakan hukum sangat bergantung pada substansi hukum dikarenakan pada sistem hukum di Indonesia yang mewarisi model sistem hukum Eropa Kontinental bahwa dalam melaksanakan tugasnya para penegak hukum berpedoman pada peraturan perundang-undangan (baca: substansi hukum) sebagai acuan utama dalam penegakan hukum itu sendiri.

Pada tahun 2025, terdapat penerbitan beberapa produk hukum yang substansial diantaranya perubahan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membawa paradigma baru bagi pengelolaan BUMN hingga penerbitan Peraturan Presiden Nomor 110 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), yang membawa paradigma baru bahwa persoalan perubahan iklim tidak saja menjadi bentuk tanggung jawab tetapi terdapat potensi ekonomi yang besar melalui kegiatan perdagangan karbon yang secara ekosistem telah didukung bursa karbon dan secara internasional juga telah dikenal melalui Paris Agreement (COP) hingga gelaran COP terakhir 2025 di Belem, Brasil.

Secara proporsional perlu juga disampaikan dalam kolom ini bahwa masih terdapat peraturan perundang-undangan yang bersifat fundamental namun hingga tahun 2025 belum dilakukan penyesuaian.

Contoh yang paling aktual adalah masih dipergunakannya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) yang keduanya dibuat saat masa penjajahan kolonial.

Kedua aturan fundamental tersebut saat ini sudah tidak efektif lagi mengingat sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi, atau sudah digantikan dengan aturan khusus (lex spesialis) pada bab tertentu.

Demikian pula yang perlu menjadi catatan dalam refleksi kritis ini adalah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang saat ini nampaknya tidak berfungsi seperti yang diharapkan saat pembentukannya sebagai 'game changer' untuk menyerap investasi baik domestik maupun asing sekaligus menyerap tenaga kerja.

UUCK saat ini tidak berfungsi maksimal karena banyak bagian dalam klaster penting dalam UUCK telah dicabut dan diubah oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya persoalan quo vadis UUCK ini perlu dipikirkan pada 2026 untuk ditindaklanjuti dengan segera.

Bagian hukum yang paling menarik dan banyak pihak akan menantikan adalah berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan berlaku pada Januari 2026. Berlakunya kedua aturan itu menjadi sangat penting bagi berlakunya rezim hukum pidana dan hukum acara pidana baru di Indonesia.

Tantangan bagi berlakunya pembaharuan hukum pidana tersebut adalah ekosistem penegakannya. Artinya kesiapan penegak hukum dalam menerima muatan substansi baru ini menjadi sangat penting.

Demikian juga meskipun pada asasnya semua masyarakat dianggap tahu akan hukum setelah diundangkan, termasuk dalam hal ini adalah sosialisasi bagi masyarakat luas sehingga seluruh masyarakat luas siap menerima perubahan mazhab baru hukum pidana pada 2026.

Hukum memiliki dua orientasi yakni sebagai ultimum remedium dan primum remedium. Pada peran hukum sebagai ultimum remidium maka pendekatan hukum dipergunakan sebagai alternatif terakhir dalam menyelesaikan persoalan yang ada.

Sebaliknya, pada orientasi primum remedium dipergunakan sebagai alternatif pertama dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Memang pendekatan mana yang harus didahulukan di antara keduanya menjadi perdebatan yang tidak pernah usai.

Idealnya, di tahun 2026 penerapan hukum sebagai ultimum remedium dan primum remedium dapat dilakukan secara proporsional. Pengertian proporsional adalah ada bagian tertentu yang memang harus menggunakan ultimum remedium dan bagian lain dalam penerapan hukum yang memang menggunakan penerapan primum remedium.

Pada esensinya, penerapan hukum melalui penegakan hukum dan pembangunan substansi hukum harus menuju pada pembangunan hukum yang humanis sekaligus menjaga marwah hukum sebagai pelindung seluruh manusia yang memberikan efek jera bagi pelanggar hukum.

Pada akhirnya Dewi Themis sebagai Dewi Keadilan tidak dicari, tapi perlu disadari bahwa Dewi Themis perlu dibentuk bersama di tahun 2026.

Assoc Prof Rio Christiawan, Pakar Politik Hukum, Associate Professor Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta

Simak juga Video Tahun Baru di Jakarta Tanpa Kembang Api, Rano: Kita Ada Drone




(ega/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork