Kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup seorang diri memampukan manusia untuk memiliki kehendak untuk berbagi. Sayangnya, semangat berbagi bukanlah semangat yang dengan otomatis dimiliki oleh orang. Hal ini mirip dengan ungkapan, "Tua itu pasti, dewasa itu pilihan."
Demikianlah keterbukaan hati untuk berbagi itu bukan suatu kepastian seakan di usia tertentu orang punya semangat berbagi. Sebaliknya, tidak jarang sikap rakus dan ingin menang sendiri lebih menguasai orang.
Erich Fromm, seorang filsuf berkebangsaan Jerman dalam bukunya yang berjudul To Have or To Be?, mengungkapkan perbedaan antara orientasi having (memiliki) dan orientasi being (menjadi) dalam hidup manusia.
Sementara orientasi having membuat orang berjuang untuk mengumpulkan, mengusai, memiliki dan mengamankan, orientasi being lebih menekankan hidup sebagai pengalaman, relasi, pertumbuhan dan makna. Hal ini juga menentukan perbedaan dalam ciri hidup keduanya.
Sementara yang bersemangat having menganggap identitas hidupnya ditentukan oleh apa yang dimiliki, dan ketakutan untuk kehilangan sangat besar, orang yang bersemangat being memaknai identitasnya atas dasar apa yang dijalani, bukan atas dasar yang dimiliki.
Sementara yang having memandang berbagi itu sebagai ancaman, yang being melihat tindakan berbagi sebagai sesuatu yang bermakna. Dalam salah satu bagian, ia mengatakan, "The function of existential having, for human existence requires we have, take care of, and use certain things in order to survive." Dalam arti ini, cara hidup having menuntut ego yang kuat, rasa kepemilikian, serta ketakutan akan kehilangan apa yang dimiliki.
Sementara, mereka yang memiliki semangat being menunjuk pada kenyataan sejati. Setiap upaya memperluas dimensi "menjadi" merupakan upaya untuk memperdalam pengenalan akan diri, sesama dan dunia tempat kita hidup (Hal 81).
Pengosongan Diri Allah
Peristiwa Natal mengajarkan manusia untuk memiliki semangat pengosongan diri agar Allah bisa bekerja di dalam diri kita, salah satunya dalam semangat berbagi. Dalam Fil 2: 6-8 dikatakan, "Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." Ungkapan ini menjadi inti dari peristiwa inkarnasi (Latin: in- masuk caro/carnis - Daging - Allah yang menjadi daging). Artinya, Allah menjadi manusia dalam diri Yesus demi kebaikan manusia.
Tema ini di dalam bahasa Teologi disebut sebagai Pertukaran Suci, Allah berkenan menjadi manusia yang lemah supaya manusia yang lemah menjadi semakin ilahi. Dalam hal ini, karena perjumpaan dengan Yesus (kisah-kisah, belas kasih, ajaran dan karya-karya-Nya), manusia belajar bagaimana hidup melampaui batas-batas manusiawinya.
Dalam kesadaran akan teladan Yesus itu, para pengikutnya hidup tidak sekedar bersemangatkan having, tetapi bersemangatkan being. Kekristenan turut serta membantu manusia untuk tidak sekedar mengambil keuntungan dari dunia yang ditinggalinya, tetapi berbagi dan membawa kebaikan di tempat ia hidup.
Ia tidak sekedar menua, tetapi bertumbuh dewasa. Ia hidup bukan semata-mata untuk menjadi makin renta, tetapi untuk menjadi berkat bagi sesamanya dalam semangat berbagi dalam berbagai macam bentuknya. Senada dengan hal ini, sebuah kata bijak mengungkapkan, "Jadilah seperti lilin, yang memang meleleh dan terbakar, tetapi setiap lelehannya menerangi sekitarnya!"
Yesus yang Berbagi
Yesus berbagi sejak di awal kisah hidupnya. Keluarga Yusuf bukanlah keluarga yang miskin. Mereka punya tempat tinggal untuk kelahiran anaknya, tetapi justru saat kelahiran akan tiba diadakan sensus penduduk di mana semua orang mendaftarkan diri, di kotanya sendiri (Luk 2: 1-3). Semua rencana batal dan Maria harus melahirkan di kandang domba.
Namun, peristiwa itu adalah kesempatan yang baik. Para gembala upahan yang merupakan salah satu kelompok termiskin di Israel kala itu bisa datang kepada-Nya. Di tempat yang sama tiga raja dari timur yang kaya mempersembahkan Mas, Kemenyan dan Mur (Luk 2: 11). Ia hadir dan berbagi dengan orang-orang sederhana maupun orang yang kaya.
Kisah pribadi yang berbagi ini terus menerus akan berlanjut dalam perjalanan hidupnya. Ia peduli kepada pemilik pesta di Kana dengan mengubah air menjadi anggur (Yoh 2); ia menyembuhkan seorang buta karena belas kasihan (Markus 10); ia berjumpa dengan orang Samaria yang sering dianggap sebagai kelompok tidak murni (Yoh 4); ia menerima pemungut cukai yang dianggap sebagai orang yang jahat kala itu (Luk 19); dan tentu puncaknya adalah kematiannya di atas kayu salib yang menunjukkan bahwa cinta kasih paling final adalah menyerahkan diri bagi sahabat-sahabatnya (Mat 27).
Demikianlah hidup Yesus merupakan sebuah upaya untuk berbagi dengan sesamanya. Atas kebaikannya itu, ia tidak mendapat apapun, tetapi dengan berbagi, ia menjadikan dirinya pribadi yang bermakna baik bagi mereka yang mengalami maupun bagi banyak orang yang bisa belajar dari pengalaman tersebut.
Kalau Natal tahun ini, PGI dan KWI mengambil tema "Tuhan hadir untuk menyelamatkan keluarga," kiranya ajakannya adalah agar kita turut serta menghadirkan Tuhan. Dalam pesan natal 2025, PGI dan KWI menulis, "Kami mengajak keluarga-keluarga kristiani untuk mengalami kehadiran Tuhan dan memulihkan kembali relasi dengan Allah dan sesama, sebagaimana telah diteladankan oleh keluarga kudus di Nasareth. Lewat peristiwa Natal, Kristus hadir untuk menyelamatkan keluarga kita.
Dengan demikian keluarga kristiani dapat menjadi perpanjangan kasih Allah yang menyelamatkan dunia." Semangat berbagi, keinginan untuk saling menghangatkan hidup bersama dan menjadi pahlawan bagi keluarga masing-masing menjadi panggilan untuk banyak orang.
Di sanalah orang bisa belajar menjadi manusia di hari natal, menjadi manusia bagi sesamanya. Selain bersemangatkan having, kita perlu melengkapi diri dengan semangat being. Kita menua dalam hidup yang kian bermakna, bukan sekedar menua dan merenta.
Selamat merayakan Natal. Inilah saatnya kita menjadi saksi kehadiran Tuhan: Saat kehadiran Tuhan kita rasakan, tetapi juga saat orang-orang di sekitar kita merasakan Tuhan yang menyertai. Inilah saatnya kita mengalami pertukaran kudus, saat kehadiran Tuhan menjadi pribadi yang lemah, menguatkan kita menjadi pribadi yang lebih ilahi, lebih berbagi, lebih menjadi berkat untuk sesamanya, terutama keluarga.
Martinus Joko Lelono. Pastor Katolik, Pengajar di Universitas Sanata Dharma.
Simak juga Video: Momen Jemaat Gereja Katedral Jakarta Doa Bersama untuk Korban Bencana
(rdp/imk)