Polemik terkait surat Pemerintah Aceh kepada dua lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak bisa dibaca semata sebagai persoalan administratif. Isu ini perlu ditempatkan dalam konteks Aceh yang memiliki karakter sosial, politik, dan strategis yang berbeda dibanding provinsi lain.
Aceh bukan hanya daerah dengan pengalaman konflik dan proses perdamaian pasca-Helsinki. Secara geopolitik, Aceh berada di mulut Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran dan kepentingan strategis paling vital di dunia, sehingga setiap interaksi dengan aktor asing memiliki implikasi yang lebih luas.
Kondisi tersebut membuat penanganan bencana di Aceh tidak pernah sepenuhnya berada di ruang teknokratis. Respons kemanusiaan selalu berlangsung di ruang sosial-politik dan geopolitik yang berlapis, di mana memori konflik, status kekhususan daerah, dan pengalaman keterlibatan internasional masih membentuk persepsi publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini berbeda dengan provinsi seperti Sumatera Utara atau Sumatera Barat yang relatif lebih kondusif. Di wilayah tersebut, respons bencana umumnya dibaca sebagai isu kemanusiaan murni, tanpa beban historis dan sensitivitas strategis yang sama.
Risiko Ambiguitas Komunikasi
Persoalan menjadi lebih sensitif ketika muncul ketidakjelasan mengenai asal-usul dan otoritas surat yang ditujukan kepada dua lembaga PBB. Ambiguitas ini bukan sekadar soal prosedur, melainkan menyangkut legitimasi komunikasi dengan pihak asing.
Di Aceh, ketidakjelasan semacam ini berpotensi memunculkan spekulasi yang melampaui isu kemanusiaan, mulai dari dugaan miskomunikasi antarlevel pemerintahan hingga persepsi adanya kanal komunikasi non-formal di luar mekanisme negara.
Koridor Regulasi
Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah tanggung jawab dan wewenang Pemerintah serta pemerintah daerah, dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi.
Partisipasi lembaga internasional hanya sah jika dikelola melalui mekanisme negara, dengan memperhatikan kedaulatan, kondisi sosial-budaya, dan koordinasi resmi. Hal ini menegaskan bahwa setiap bantuan asing harus berada dalam kerangka hukum nasional dan tidak menimbulkan ruang politisasi.
Pengelolaan yang tidak rapi justru berisiko membuka ruang politisasi dan kegaduhan yang tidak perlu. Dampaknya bukan hanya pada stabilitas politik, tetapi juga pada efektivitas bantuan bagi masyarakat terdampak.
Karena itu, kehati-hatian dalam komunikasi dan tata kelola bantuan internasional di Aceh menjadi krusial. Bukan untuk membatasi bantuan, melainkan untuk memastikan bahwa kemanusiaan tetap menjadi tujuan utama tanpa mengorbankan stabilitas dan kepentingan strategis nasional.
Simak juga Video: Mendagri Buka Suara soal Aceh Surati PBB Minta Bantuan Bencana











































