Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 yang baru saja berlalu pada 9 Desember lalu, dengan tema 'Satukan Aksi, Basmi Korupsi', menjadi momentum krusial bagi Indonesia untuk merefleksikan perjuangan melawan korupsi di berbagai sektor, termasuk energi dan sumber daya alam (SDA).
Di tengah ambisi transisi energi nasional-yang digadang sebagai langkah vital untuk mencegah kenaikan suhu bumi dan melepaskan ketergantungan pada energi fosil menuju energi terbarukan-korupsi masih menjadi momok yang tak boleh diabaikan.
Bukan sekadar ancaman hipotetis, korupsi telah merasuk ke dalam proyek-proyek transisi energi, mengancam target kesepakatan internasional seperti Paris Agreement dan agenda Net Zero Emission.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendorong transisi energi yang berkeadilan mustahil tanpa melihat dan mendudukkan 'korupsi' sebagai musuh bersama dan harus diantisipasi secara preventif, agar transisi energi berjalan sebagaimana mestinya--berhasil mencapai target-target kesepakatan internasional tentang iklim dan keluar dari ketergantungan energi fosil menuju energi terbarukan.
Dalam diskusi tentang climate corruption di Bandung pada Mei 2025, korupsi dilihat sebagai penghambat utama pencapaian target pembangunan, termasuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Krisis iklim akan semakin parah jika korupsi dibiarkan tumbuh subur di balik proyek-proyek hijau, yang ironisnya justru dimaksudkan untuk menyelamatkan bumi.
Korupsi dalam konteks transisi energi bukanlah isu baru. Proyek pengembangan energi terbarukan dan mineral kritis-seperti nikel yang menjadi tulang punggung baterai kendaraan listrik-telah menjadi ladang subur bagi praktik korupsi.
Tahun ini saja, Indonesia Corruption Watch (ICW) memperingatkan bahwa bisnis transisi energi rentan dikorupsi, dengan potensi mark-up harga, pengaturan tender, dan konflik kepentingan yang tinggi.
Contoh nyata adalah skandal di Pertamina pada Mei 2025, di mana pejabat tinggi diduga terlibat dalam korupsi pengadaan kilang minyak dan manipulasi laporan keuangan proyek energi besar senilai triliunan rupiah.
Kasus ini tidak hanya merugikan negara, tapi juga menghambat transisi ke energi bersih, karena dana yang seharusnya dialokasikan untuk energi terbarukan malah diselewengkan.
Kasus-kasus lama pun masih relevan sebagai pelajaran. Pada 2020, korupsi proyek tenaga surya untuk desa terpencil di Kabupaten Kutai Timur merugikan negara Rp 53,6 miliar, dengan dana digunakan untuk barang mewah seperti mobil Range Rover.
Begitu pula kasus pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk daerah transmigrasi pada 2008, yang melibatkan keluarga elite politik dan merugikan Rp 3,8 miliar.
Di sektor mineral kritis, Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Maluku Utara pada 2023 terkait suap perizinan nikel, serta eksploitasi ilegal nikel di konsesi PT Antam di Sulawesi Tenggara, menjadi pengingat bahwa transisi energi bisa jadi alibi untuk korupsi.
Belum lagi, pada Maret 2025, isu Danantara-dana transisi energi-disebut berpotensi menjadi celah korupsi jika tata kelola tidak diperketat.
Lebih lanjut, korupsi di sektor SDA tidak hanya menghambat transisi energi, tetapi juga memicu bencana alam yang merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat. Contoh terkini adalah bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada akhir November 2025, di mana sungai-sungai dipenuhi tumpukan kayu gelondongan, potongan kayu, dan sampah plastik yang menandakan aktivitas manusia daripada fenomena alam semata.
Bencana ini disebabkan oleh deforestasi massal akibat penebangan liar, perkebunan sawit ilegal, dan pertambangan tanpa izin, yang semuanya dibayangi praktik korupsi seperti suap perizinan, manipulasi kebijakan, dan pengawasan lemah oleh oknum pejabat.
Menurut kajian KPK, kerugian negara mencapai Rp 35 triliun per tahun dari penebangan liar, dengan deforestasi net di Sumatera mencapai 78.03 ribu hektar pada 2024-termasuk 11.21 ribu hektar di Aceh, 7.03 ribu di Sumut, dan 6.63 ribu di Sumbar-yang memperburuk kerentanan terhadap perubahan iklim dan menghambat upaya adaptasi seperti yang dibutuhkan dalam transisi energi.
Praktik rent-seeking oleh oligarki bisnis dan politik ini tidak hanya merusak ekosistem hutan sebagai penyerap karbon, tapi juga memperlemah ketahanan nasional terhadap krisis iklim, sehingga korupsi SDA menjadi penghalang langsung bagi pencapaian target Net Zero Emission
Bagaimana Kita Harus Melawan?
Lalu, bagaimana kita melawan korupsi--dalam kerangka mengawal transisi energi? Todung Mulya Lubis dalam tulisannya berjudul "Peta Korupsi: Jalan Berlubang di Mana-mana" (Majalah Prisma, 2018) mengatakan, jantung dari pemberantasan korupsi bukan pada tindakan represif, menyelidiki, menyidik, menuntut, mengadili, menghukum penjara, tetapi justru pada apa yang disebut sebagai governance.
Lalu, bagaimana membangun tata kelola transisi energi itu? Satuan Tugas (Satgas) Energi dan Sumber Daya Alam (SDA) Direktorat Monitoring KPK dalam sebuah diskusi pertengahan November lalu, memaparkan setidaknya ada lima karakteristik risiko korupsi dalam transisi energi.
Pertama, tingginya tingkat investasi berisiko menarik rent-seeker jika tanpa akuntabilitas yang mumpuni.
Kedua, adanya tuntutan akselerasi sehingga kebijakan tidak didesain secara hati-hati dan minim transparansi.
Ketiga, rawan diskresi dan pengecualian dalam perizinan untuk memberikan perlakuan khusus terhadap pihak tertentu.
Keempat, kecepatan perubahan tata kelola kebijakan menimbulkan ketidakpastian regulasi dan menghambat persaingan yang sehat. Dan berikutnya, kelima, adanya risiko political capture dan konflik kepentingan.
Dari studi tersebut, KPK melihat sejumlah persoalan yang berpotensi menjadi titik rawan korupsi. Yakni beberapa di antaranya seperti desain kebijakan yang lemah; perencanaan dan kinerja proyek yang buruk; perencanaan, penugasan dan desain kelembagaan yang lemah, kurang tepat, tumpang tindih dan tidak transparan.
Kemudian risiko konflik kepentingan dan fraud pada level proyek; desain dan implementasi program yang tidak akuntabel dan berisiko tinggi bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pelaksana; serta pengaturan harga Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) yang tidak transparan.
Dari uraian di atas, kesimpulan jelas: tata kelola adalah substansi utama. Meski tidak mudah-bukan seperti membalik telapak tangan-membangun tata kelola baik bukan mustahil.
Bagi saya, tata kelola yang baik adalah yang menjamin transisi energi berkeadilan: adil, transparan, akuntabel, berkelanjutan lingkungan, dan melibatkan partisipasi masyarakat di setiap aspek.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dalam diskusi tentang korupsi transisi energi, baru-baru ini, bahwa,
"Tidak akan ada transisi energi berkeadilan, bila di dalamnya ada korupsi. Ketika ada korupsi, yang ada bukan lagi transisi energi berkeadilan, melainkan lebih banyak kerusakan, baik dari sisi kemanusiaan maupun ekologi."
Mari mengawal transisi energi, mari melawan korupsi!
Ariyansah NK. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. PWYP Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil yang mendorong perbaikan tata kelola sektor energi dan sumber daya alam (SDA).
Simak juga Video: Seputar Kolaborasi Riset Transisi Energi Indonesia-Australia











































