×
Ad

Kolom

Dari 'Benturan Peradaban' ke 'Benturan Kedunguan'

Septa Dinata - detikNews
Sabtu, 06 Des 2025 09:30 WIB
Foto: Ilustrasi Pembersihan Reruntuhan Masjid Tertua di Gaza (Anadolu via Getty Images/Anadolu)
Jakarta -

Dua dekade lebih silam, Edward W. Said-pengarang buku Orientalism (1978)-menulis esai penting berjudul The Clash of Ignorance (2001). Dalam tulisan itu ia menolak keras tesis Samuel P. Huntington tentang The Clash of Civilizations (1993) yang menggambarkan secara esensialis pertentangan antara Barat dan Islam.

Bagi Said, yang sesungguhnya terjadi bukanlah benturan antar peradaban, melainkan benturan kedunguan--the clash of ignorance--yang penuh dengan prasangka, kebutaan sejarah, dan rasa kemanusiaan yang tumpul.

Tragedi Gaza yang meletus kembali sejak Oktober 2023 mengingatkan kembali kritik Said tersebut. Dunia menyaksikan secara terang-terangan bagaimana persoalan Israel-Palestina tak lagi dapat dipersempit sebatas konflik politik antara Israel dan Hamas, melainkan cerminan telanjang bagaimana kedunguan struktural dan pembenaran ideologis menopang satu sama lain.

Kekerasan yang masif, penghancuran infrastruktur sipil, dan kelaparan yang dibiarkan, bahkan diciptakan secara sistematis, menyingkap wajah kolonialisme modern yang selama ini tertutupi oleh narasi "perang melawan teror."

Selama bertahun-tahun, dunia Barat memandang Israel-Palestina melalui kerangka keamanan dan esensialisme budaya. Israel diposisikan sebagai benteng demokrasi Barat di Timur Tengah, sementara Palestina dikonstruksikan sebagai representasi dunia Arab-Islam yang identik dengan kekerasan.

Narasi Manikean ini--Barat rasional versus Islam emosional--menguat terutama pasca tragedi 9/11 di New York dan menjadi justifikasi ampuh bagi dukungan politik Barat yang tak bersyarat terhadap Israel.

Kritik Said terhadap cara pandang ini menegaskan bahwa ketegangan tersebut bukanlah hasil benturan peradaban, melainkan produk dari kedunguan struktural yang sengaja dipelihara.

Pulihnya Nurani Barat

Namun, serangan Israel yang semakin ekstrem justru membuat sebagian besar masyarakat Barat terbelalak dan berputar arah. Korban sipil yang mencapai ratusan ribu jiwa, sebagian meninggal akibat bom dan sebagian akibat kelaparan, memaksa opini publik Barat beranjak secara dramatis.

Arus informasi yang tak lagi dapat dimonopoli media arus utama menyibak tabir kenyataan yang selama ini tertutup: bahwa Palestina bukan ancaman bagi demokrasi, melainkan korban kolonialisme yang dilegitimasi oleh retorika keamanan.

Visualisasi kekerasan yang beredar melalui media sosial tak lagi dapat dibendung. Fakta demi fakta menunjukkan bahwa agresi Israel bukanlah upaya membela diri, tetapi ekspansi kekuasaan yang didorong oleh rasisme struktural.

Mitos "superioritas moral Barat"-yang selama berpuluh tahun dijadikan landasan untuk mengintervensi negara lain atas nama demokrasi-runtuh karena pembiaran atau dukungan mereka terhadap genosida di Gaza.

Masyarakat Barat, terutama generasi muda, tak lagi bisa menerima begitu saja dukungan negara mereka masing-masing. Gelombang demonstrasi yang diisi oleh anak-anak muda pro-Palestina terbesar dalam sejarah modern terjadi di jantung peradaban Barat: London, New York, Paris, Berlin, hingga Melbourne.

Survei Pew Research 2024 menunjukkan penurunan drastis dukungan generasi muda Amerika terhadap kebijakan militer Israel-sebuah pergeseran yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Pada tingkat kebijakan negara, sejumlah negara Eropa-seperti Spanyol, Irlandia, dan Norwegia-kini secara terbuka menyuarakan kecaman terhadap tindakan Israel.

Langkah Perancis dan Inggris yang mulai mengakui negara Palestina juga menjadi perubahan signifikan, mengingat kedua negara ini adalah arsitek awal geopolitik modern Timur Tengah yang berujung pada lahirnya negara Israel. Pergeseran ini menjadi batu lompatan penting bagi penguatan legitimasi perjuangan kemerdekaan Palestina.

Suara dari Dalam

Pergeseran sikap global terhadap Israel juga diperkuat oleh kritik dari komunitas Yahudi itu sendiri. Film dokumenter Israelism (2023) memperlihatkan bagaimana generasi muda Yahudi Amerika mulai mempertanyakan bahkan menolak doktrin Zionisme yang selama puluhan tahun diajarkan sebagai kebenaran mutlak.

Mereka memandang kehancuran Gaza bukan sebagai kebutuhan keamanan Israel, tetapi sebagai pengkhianatan moral terhadap nilai kemanusiaan yang terkandung dalam tradisi etis Yahudi.

Di Israel sendiri, kelompok-kelompok seperti Breaking the Silence dan B'Tselem berani mengungkap praktik pendudukan dan apartheid yang sudah berlangsung lama. Pengakuan para mantan tentara Israel mengenai operasi brutal di wilayah Palestina memberi bobot moral yang kuat.

Lembaga HAM Israel bahkan secara eksplisit menyebut sistem yang diberlakukan terhadap rakyat Palestina sebagai "rezim apartheid." Hal ini meruntuhkan klaim bahwa kritik terhadap Israel identik dengan anti-Semitisme.

Di ranah intelektual, tokoh-tokoh Yahudi seperti Norman Finkelstein, Ilan Pappé, Noam Chomsky, Avi Shlaim, dan Peter Beinart-banyak di antaranya berasal dari keluarga penyintas Holocaust-secara terbuka mengecam kebijakan Israel.

Mereka menyebut tindakan Israel bukan hanya salah secara moral, tetapi juga merusak nilai etis Yahudi yang menghargai kehidupan manusia. Suara-suara internal ini membuat narasi resmi Israel semakin kehilangan legitimasi dan membuka ruang bagi pembacaan yang lebih jernih tentang persoalan Palestina.

Kenyataan-kenyataan ini menegaskan kembali bahwa cara pandang esensialistik ala Huntington tidak memiliki dasar empiris maupun moral. Kedunguan struktural dapat tumbuh di mana saja: di pusat-pusat kekuasaan Barat maupun di kalangan elite Arab. Kontrol Barat atas Timur Tengah, misalnya, tanpa topangan dari mereka tak mungkin bisa terjadi. Dominasi geopolitik bukanlah hasil pertarungan peradaban, tetapi hasil kolaborasi elit yang sama-sama buta terhadap keadilan.

Sebaliknya, mereka yang tercerahkan juga muncul di mana saja: aktivis, intelektual, dan warga biasa di Eropa dan Amerika yang membela Palestina, maupun suara-suara moral dari berbagai belahan dunia lain yang menolak kekerasan dan penindasan. Garis pemisahnya bukanlah agama atau peradaban, tetapi kesadaran dan pengetahuan.

Di sisi lain, tragedi Gaza semakin menyingkap akar persoalan yang jauh lebih dalam: struktur kekuasaan kolonial yang membentuk politik Timur Tengah sejak awal abad ke-20. Cara pandang Barat yang menempatkan Israel sebagai perpanjangan kepentingan geopolitik mereka telah melanggengkan ketidakadilan selama puluhan tahun. Selama struktur ini tidak disentuh, setiap upaya perdamaian hanya akan menjadi kompromi semu.

Sejarah menunjukkan bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan. Dunia kini ditantang untuk menunjukkan keberanian moral: mengakhiri struktur kolonial yang telah merenggut martabat jutaan manusia.

Selama ketidakadilan itu dibiarkan, the clash of ignorance yang dikritik Edward Said akan terus menjadi potret muram kegagalan peradaban kita.

Septa Dinata. Sosiolog dan Dosen di Universitas Paramadina.

Tonton juga video "Kamp Pengungsian di Gaza Terbakar Buntut Serangan Israel, 5 Tewas"




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork