×
Ad

Kolom

Kiai Miftah dan Supremasi Syuriyah

Nur Hidayat - detikNews
Jumat, 28 Nov 2025 07:50 WIB
Foto: Wakil Sekretaris Jenderal PBNU 2022-2027 Nur Hidayat (dok pribadi)
Jakarta -

"The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence; it is to act with yesterday's logic." (Peter F. Drucker)

Saya bersaksi, menjadi Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak pernah ada dalam benak, apalagi daftar keinginan (wish list) KH. Miftachul Akhyar. Bahkan, beliau sempat mematikan hand phone (HP) selama dua hari, sesaat setelah KH Ma'ruf Amin diumumkan sebagai bakal calon wakil presiden berpasangan dengan Joko Widodo pada 9 Agustus 2018.

Aksi mematikan HP tersebut dilakukan sebagai bentuk protes sekaligus ekspresi kegelisahan. Sebagai (satu-satunya) Wakil Rais Aam PBNU, konstitusi jelas mengatur bahwa Kiai Miftah -panggilan akrabnya- akan otomatis menjadi Pejabat Rais Aam hingga akhir masa khidmah. Tapi, beliau sadar, menjadi pemimpin tertinggi ormas Islam terbesar di dunia ini bukanlah privilese, melainkan amanat sangat berat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.

Meski tahu prosedur penetapan Pejabat Rais Aam tersebut, beliau tetap berusaha mengalihkan (divert) amanat besar itu. Kepada utusan PBNU yang sowan beberapa hari kemudian, beliau menyebut dua nama Mustasyar: KH. Tolhah Hasan (Wakil Rais Aam era KH Sahal Mahfudh) dan KH. Maimun Zubair Sarang. Nama terakhir inilah yang kemudian berhasil memaksa Kiai Miftah untuk tidak menolak amanat sebagai Pejabat Rais Aam.

Karena itu, ketika beberapa hari ini beredar tuduhan bahwa Rais Aam bersekongkol dengan Sekretaris Jenderal dan Bendahara Umum PBNU untuk menyingkirkan Gus Yahya dari posisi Ketua Umum, tuduhan itu sungguh sangat keji. Terlebih lagi, tuduhan adanya "persekongkolan jahat" itu dikaitkan dengan perebutan kendali atas konsesi tambang yang diterima oleh NU. Sebagian pegiat NU bahkan secara simplistik menyebut gegeran ini sebagai "kutukan tambang".

Serangan masif dan sistematis kepada Rais Aam dimulai sejak Jumat (21/11) petang, saat potongan halaman kedua Risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU beredar secara luas di beragam media sosial. Opini yang hendak dibangun: Rais Aam PBNU bertindak semaunya sendiri, tidak berdasar konstitusi!

Serangan itu terjawab setelah Pengurus Besar Syuriyah menyampaikan tabayun melalui surat Nomor 4778/PB.02/A.I.01.47/99/11/2025. Siapapun yang membaca isi surat itu dengan jernih, pasti dapat melihat siapa yang memainkan skenario kebocoran potongan Risalah Rapat Harian Syuriyah itu.

Kutukan AKN NU

Alih-alih menjawab tuduhan dan serangan masif soal "persekongkolan tambang", Kiai Miftah selaku Rais Aam PBNU justru menerbitkan surat edaran berisi pernyataan mencabut tanda tangan dalam Surat Keputusan PBNU tentang Penetapan Penasihat Khusus Ketua Umum PBNU Untuk Urusan Internasional, Ahad (23/11). Beliau sedang mengirim sinyal yang tegas, di situlah inti persoalannya.

Indikasi adanya upaya sabotase dan pembajakan (hijacking) sistem Digdaya Persuratan yang terbaca sejak malam peringatan Hari Santri Nasional (21 Oktober 2025), kemudian terkonfirmasi ketika akun Sekretariat Jenderal PBNU dalam platform Digdaya Persuratan justru dimatikan secara sepihak oleh Tim Project Management Office (PMO). Penonaktifan itu hanya berselang kurang dari dua jam setelah akun tersebut mengirimkan surat edaran Rais Aam.

Publik pun terhenyak dan mulai paham, kontroversi Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) sebagaimana termaktub dalam Risalah Rapat ternyata benar-benar persoalan krusial dan prinsip di mata Syuriyah. Bukan sekadar kamuflase dari aksi "tarik tambang" seperti tuduhan para penentang keputusan Syuriyah.

Meski tidak pernah duduk di bangku sekolah formal, ketajaman mata batin dan ilmu hikmah yang melekat pada diri Kiai Miftah telah menuntun langkahnya dengan sangat teliti dalam menghadapi situasi turbulensi di era post truth ini. Seakan mendapatkan "sanad" langsung dari Peter F. Drucker, langkah Kiai Miftah benar-benar detail, teliti dan terukur.

Langkah itu juga yang beliau lakukan ketika memerintahkan penulis untuk menyiapkan klarifikasi, jika sewaktu-waktu beredar foto pertemuan tidak sengaja dengan rombongan Gus Yahya di Bandara Juanda, Kamis (27/11) pagi kemarin. Kiai Miftah ingin mengirim pesan, pesawat jumbo bernama NU tidak lagi dikendalikan dengan "mode autopilot". Supremasi Syuriyah harus menjadi panglima. Sebab, NU adalah organisasi yang didirikan para ulama.

Penulis sadar, klarifikasi itu akan menuai kecaman ribuan pendengung dan NU-tizen. Tapi, setelah membaca rangkaian aksi sabotase dan pembajakan platform Digdaya Persuratan yang berlangsung sejak 21 Oktober-26 November 2025, beberapa teman NU-tizen yang waras pun mulai sadar dan memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Begitu juga mereka yang membaca detail kronologi AKN NU beserta kontroversi yang mengiringinya, pasti akan mendukung langkah Kiai Miftah untuk menegakkan Supremasi Syuriyah.

Spesialis Turbulensi

Turbulensi di tubuh NU kali ini, bukan yang pertama dihadapi oleh Kiai Miftah. Dua puluh tahunan lalu, saat menjabat Rais PCNU Kota Surabaya, Gusti Allah sudah melatih beliau menghadapi situasi turbulensi dalam skala kecil. Sewindu kemudian, pada tahun pertama menjabat Rais PWNU Jawa Timur (2008), turbulensi yang lebih besar muncul terkait kontroversi status Kontrak Jam'iyah yang dilanggar oleh KH. Ali Maschan Moesa, Ketua Tanfidziyah saat itu. Kiai Ali Maschan dianggap melanggar Kontrak Jam'iyah yang ditandatangani sebelum terpilih, karena kemudian maju menjadi calon wakil gubernur Jawa Timur dalam pilkada langsung pertama pasca era reformasi.

Perdebatan saat itu berujung pada keputusan KH. Sahal Mahfudz (Rais Aam saat itu) untuk membekukan PWNU Jawa Timur dan memerintahkan "konferensi ulang". KH. Ali Maschan yang telah diberhentikan, tetap diperkenankan ikut kontestasi yang berlangsung dalam "konferensi ulang" tersebut.
Sebelum masuk babak pemilihan, saat dimintai persetujuan dalam status Rais Terpilih, Kiai Miftah pun memberi syarat: restu atau persetujuan akan diberikan jika bersedia mundur dari kontestasi Pilgub Jawa Timur.

Karena syarat tidak dipenuhi, persetujuan pun tidak dapat diberikan. Meski berat di hati, tapi Kiai Ali Maschan menerima keputusan itu. Lalu, KH. Hasan Mutawakkil Alallah pun ditetapkan sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur saat itu.

Preseden itu kemudian menjadi yursprudensi hingga saat ini. Larangan bagi mandataris untuk mencalonkan diri dalam jabatan politik (Presiden/Wapres, Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, Walikota/Wawali, sampai dengan DPR/DPRD/DPD) pun menjadi klausul dalam Bab Larangan Rangkap Jabatan di Anggaran Rumah Tangga NU, sejak Muktamar Makassar (2010).

Lalu bagaimana jika ada mandataris yang mencalonkan diri atau dicalonkan dalam jabatan politik? Mekanismenya sudah diatur: mundur atau diberhentikan. Dan, Kiai Miftah ditakdirkan menerima konsekuensi aturan itu ketika kemudian dipaksa mengisi jabatan yang ditinggalkan KH. Ma'ruf Amin pada 2018.

Kini, di ujung abad pertama NU dalam hitungan masehi, kita masih bisa menunggu, legacy apa yang akan diwariskan oleh Gus Yahya. Sebagai mantan Katib Aam PBNU, dunia sedang menunggu, apakah Gus Yahya akan mendukung penegakan Supremasi Syuriyah, atau hendak menjadikan Jagat NU sebagai "medan perang" seperti di Suriah. Wallahu-l Musta'an.

Saksikan Live DetikPagi:

Simak Video 'Syuriah PBNU Persilakan Gus Yahya Ajukan Keberatan soal Pencopotan':




(zap/zap)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork