×
Ad

Kolom

Harapan Baru, Meninjau Ulang Kewajiban Publikasi BRIN

Dedi Arman - detikNews
Selasa, 18 Nov 2025 13:18 WIB
Foto: Ilustrasi Gedung BRIN (Ari Saputra)
Jakarta -

Pergantian pucuk pimpinan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari Laksana Tri Handoko kepada Arif Satria tanggal 10 November 2025 lalu, memunculkan harapan baru bagi periset BRIN. Tingginya standar publikasi dan tanpa insentif sangat membebani. Kepala BRIN baru baru diharapkan bisa mengkaji ulang kebijakan yang menjadikan periset merana itu.

Mulai tahun 2025, kehidupan para peneliti di lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi semakin berat dalam mengejar target publikasi ilmiah. Hal ini terjadi setelah terbitnya Keputusan Kepala BRIN Nomor 31/I/HK/2025 tentang Keluaran Kerja Minimal (KKM) Tahun 2025 bagi Sumber Daya Manusia Iptek di Lingkungan BRIN. Aturan ini menetapkan standar yang sangat tinggi bagi setiap jenjang jabatan fungsional peneliti.

Semangat yang melatarbelakangi kebijakan tersebut tentu positif, yakni meningkatkan kualitas dan reputasi riset nasional agar mampu bersaing di tingkat global. Namun dalam praktiknya, target yang terlalu tinggi justru berpotensi menggerus kewajaran, bahkan menimbulkan tekanan psikologis dan struktural di kalangan peneliti.

Dalam ketentuan itu, setiap tahunnya Peneliti Pertama diwajibkan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang diterbitkan di jurnal ilmiah global bereputasi lainnya.

Peneliti Muda harus menulis di jurnal terindeks global bereputasi atau berkontribusi dalam buku ilmiah maupun bunga rampai terbitan nasional. Sementara Peneliti Madya dituntut publikasi di jurnal terindeks global bereputasi menengah (Scopus Q2).

Adapun Peneliti Utama/Profesor diwajibkan menghasilkan karya di jurnal terindeks global bereputasi tinggi (Scopus Q1) atau buku ilmiah yang diterbitkan oleh penerbit internasional ternama.

Target Ambisius

Jika dilihat sekilas, kebijakan ini mencerminkan keinginan besar BRIN untuk menempatkan riset Indonesia sejajar dengan lembaga penelitian dunia. Namun, Kebijakan BRIN ini semakin terasa kontras jika dibandingkan dengan dunia perguruan tinggi.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 500/M/2024 tentang Standar Minimum Indikator Kinerja Dosen dan Kriteria Publikasi Ilmiah, beban publikasi dosen diatur secara lebih realistis dan bertahap sesuai jabatan fungsionalnya.

Dalam tiga tahun, dosen Asisten Ahli wajib dua publikasi di jurnal nasional tidak terakreditasi atau satu di jurnal nasional terakreditasi. Lektor wajib menulis satu artikel sebagai penulis utama di jurnal nasional terakreditasi atau berkontribusi dalam dua publikasi internasional.

Lektor Kepala dituntut menghasilkan dua publikasi internasional bereputasi sebagai penulis utama atau anggota, sedangkan Profesor diwajibkan menulis di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama dalam tiga tahun serta menerbitkan buku ilmiah setiap enam tahun.

Perbandingan ini memperlihatkan betapa target publikasi di BRIN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perguruan tinggi, meskipun secara kualifikasi akademik tidak jauh berbeda. Bayangkan, seorang peneliti ahli pertama yang baru saja menyesuaikan diri dengan sistem baru BRIN sudah dituntut untuk menembus jurnal bereputasi Scopus, padahal publikasi di tingkat nasional pun membutuhkan waktu, biaya, dan proses bimbingan yang panjang.

Seorang dosen Asisten Ahli dan Peneliti Pertama sama-sama umumnya bergelar magister. Bedanya, dosen memiliki ruang yang lebih fleksibel dalam mengatur beban Tridarma, sementara peneliti BRIN dituntut menghasilkan publikasi global yang sejatinya memerlukan kolaborasi, dukungan infrastruktur, dan pendanaan riset memadai.

Dari sisi regulasi, dasar hukum kebijakan ini memang kuat. Penetapan target publikasi di BRIN mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN yang menegaskan fungsi lembaga ini dalam melaksanakan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan iptek untuk menghasilkan inovasi nasional.

Selain itu, aturan ini sejalan dengan Peraturan Menteri PANRB Nomor 7 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional yang menekankan pentingnya kinerja berbasis hasil. Secara normatif, arah kebijakan ini sudah tepat. Namun dalam pelaksanaannya, perlu penyesuaian agar tidak menjadi beban yang kontraproduktif.

Riset ilmiah bukanlah pabrik yang bisa menargetkan produksi tahunan secara mekanis. Prosesnya panjang, memerlukan pembacaan, eksplorasi, pengumpulan data, analisis, hingga penulisan yang bermutu. Bila target publikasi ditetapkan tanpa mempertimbangkan siklus riset yang realistis, hasilnya bisa paradoks.

Riset menjadi dangkal, publikasi dikejar hanya demi memenuhi angka, dan etika ilmiah berisiko tergeser oleh tekanan administratif. Dalam jangka panjang, hal ini justru dapat menurunkan kualitas riset nasional yang semula ingin ditingkatkan.

Tanpa Insentif

Ironisnya, di tengah tingginya target publikasi tersebut, peneliti BRIN tidak memperoleh insentif finansial apa pun ketika artikelnya terbit. Padahal, biaya publikasi atau Article Processing Charge (APC) di jurnal bereputasi tinggi tidaklah murah. Jangankan jurnal Scopus, jurnal nasional seperti Sinta 1 dan Sinta 2 pun kerap mematok biaya antara Rp2-5 juta per artikel.

Meskipun memang ada beberapa jurnal yang tidak memungut biaya publikasi, jumlahnya terbatas dan persaingannya sangat ketat. Kondisi ini menempatkan peneliti dalam dilemma. Di satu sisi dituntut produktif dengan standar global, tetapi di sisi lain harus menanggung beban finansial tanpa dukungan insentif yang memadai. Jika target publikasi tidak tercapai, tunjangan kinerja peneliti akan dipotong pada tahun berikutnya.

Penting bagi BRIN untuk meninjau kembali skema target publikasi ini dengan mempertimbangkan asas proporsionalitas dan pembinaan karier. Peneliti muda seharusnya mendapat ruang pembelajaran dan dukungan agar dapat tumbuh menjadi ilmuwan produktif dan berintegritas, bukan sekadar pemburu angka indeksasi.

Target global tentu tetap perlu, tetapi mestinya bertahap dengan mempertimbangkan kapasitas, bidang ilmu, serta sumber daya pendukung yang tersedia.

Ambisi besar BRIN untuk menginternasionalisasi riset Indonesia tentu patut diapresiasi. Namun, ambisi tanpa keseimbangan akan kehilangan arah. Dalam konteks ini, menjaga kewarasan bukan berarti menolak perubahan, melainkan memastikan agar setiap kebijakan ilmiah berpijak pada logika pengembangan ilmu, bukan sekadar angka kinerja.

Di situlah makna sejati riset, yakni memperkaya pengetahuan, memberi manfaat, dan meneguhkan kemanusiaan.

Dedi Arman. Peneliti Ahli Muda Sejarah, Pusat Riset Kewilayahan- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Tonton juga video "Prabowo Lantik Rektor IPB Arif Satria Jadi Kepala BRIN"




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork