×
Ad

Kolom

Jalan Berliku Menuju Kemerdekaan Palestina

Aji Cahyono - detikNews
Selasa, 11 Nov 2025 11:13 WIB
Foto: Ilustrasi bendera Palestina (Getty Images/iStockphoto/Joel Carillet)
Jakarta -

Upaya perdamaian kawasan Timur Tengah memasuki babak baru yang rumit dan penuh tanya. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam kunjungan kenegaraannya ke Asia, memuji beberapa negara yang dianggap telah memberi dukungan penting dalam proses gencatan senjata Israel-Hamas. Salah satu nama yang disebut dengan penekanan khusus adalah Presiden Indonesia, Prabowo Subianto.

Di hadapan para pemimpin Asia Tenggara dalam KTT ASEAN di Malaysia, Trump menyampaikan terima kasih kepada Malaysia, Brunei, dan "sahabat saya, Presiden Prabowo dari Indonesia", karena berperan mendorong upaya menuju "hari baru bagi Timur Tengah".

Pernyataan itu memunculkan interpretasi bahwa Indonesia dipandang sebagai kekuatan diplomatik moral yang semakin disorot dalam isu Palestina.

Namun, pernyataan tersebut muncul dalam konteks konflik yang jauh dari kata "selesai". Gencatan senjata rapuh kembali terguncang setelah Israel melancarkan serangan udara besar-besaran di Gaza. Sehingga serangan menewaskan sedikitnya 104 warga Palestina, termasuk puluhan perempuan dan anak-anak.

Israel berdalih serangan tersebut merupakan respon atas penembakan seorang tentara Israel di Rafah. Sementara Hamas membantah terlibat dan balik menuduh Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata.

Situasi kembali memanas, menggambarkan betapa rentannya proses perdamaian yang sedang diupayakan.

Di tengah konflik yang kembali berkobar, pembahasan mengenai persatuan faksi politik di Palestina kembali mengemuka. Hamas menyatakan kesiapan untuk memulai dialog nasional dengan Fatah guna mengakhiri perpecahan panjnag yang telah membelah politik Palestina selama hampir dua dekade.

Pernyataan ini menarik perhatian karena persatuan nasional diyakini dapat menjadi fondasi penting bagi perjuangan panjang menuju kemerdekaan Palestina.

Peta Politik Terbelah

Untuk memahami betapa sulitnya proses rekonsiliasi ini, perlu melihat sejarah konflik internal Palestina. Hamas dan Fatah sebenarnya pernah berdiri dalam barisan perjuangan yang sama, yakni memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina atas tanah dan kedaulatannya.

Namun, perbedaan ideologi, strategi perjuangan, dan basis kekuatan di lapangan membuat keduanya berkembang menjadi dua entitas politik dengan orientasi yang berbeda.

Fatah, yang lebih tua dan mendominasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), berakar pada nasionalisme sekuler. Kelompok ini sejak lama memilih jalur diplomasi dan negosiasi politik dengan komunias internasional.

Sementara Hamas, lahir pada akhir 1980-an di tengah Intifada pertama, tumbuh dari basis gerakan dakwah dan sosial yang memiliki orientasi Islamis. Hamas melihat perjuangan bersenjata sebagai bagian sah dari perlawanan terhadap pendudukan Israel.

Pemilihan umum Palestina tahun 2006 menjadi titik balik yang menentukan. Saat itu Hamas memenangkan suara mayoritas dalam pemilu legislatif, mengalahkan Fatah. Kemenangan tersebut memantik krisis politik internal, terutama terkait legitimasi pemerintahan, kontrol keamanan, dan akses ke lembaga negara.

Ketegangan memuncak pada 2007, ketika bentrokan bersenjata terjadi di Gaza dan berujung pada pembagian wilayah kekuasaan. Fatah menggondol Tepi Barat, sementara Hamas memerintah di Jalur Gaza.

Sejak itu, Palestina terbelah secara politik, administratif, ekonomi dan struktural. Dunia internasional yang sebagian besar hanya mengakui Fatah sebagai representasi resmi Palestina juga turut memperdalam fragmentasi. Hamas, di sisi lain, memperoleh dukungan dari kelompok dan negara yang ingin mempertahankan narasi perlawanan bersenjata.

Rekonsiliasi dan Persatuan: Jalan Strategis Menuju Kemerdekaan

Sejak perpecahan 2007, Hamas dan Fatah telah beberapa kali mencoba memulai rekonsiliasi. Dialog pernah difasilitasi oleh Qatar, Turki, Arab Saudi, Mesir hingga terbaru yakni Tiongkok. Salah satu momen penting terjadi pada Juli 2024 ketika Hamas dan Fatah menandatangani perjanjian rekonsiliasi di Beijing, menekankan pembentukan pemerintah persatuan nasional. Meskipun implementasinya tidak mudah.

Faktor utama yang membuat rekonsiliasi tersendat adalah perbedaan visi mengenai strategi perlawanan. Fatah cenderung mengedepankan diplomasi internasional, sementara Hamas tetap mempertahankan legitimasi perjuangan bersenjata sebagai bentuk penolakan terhadap pendudukan.

Joas Wagemaker, akademisi dari Universitas Utrech, menilai bahwa Hamas bukan sekadar kelompok militan, melainkan organisasi politik yang fleksibel dalam membaca situasi. Menurut Wagemakers, Hamas mempunyai dua wajah, sebagai gerakan sosial-politik dan kelompok perlawanan. Ia menjelaskan bahwa Hamas dapat menunjukkan pragmatisme ketika situasi menuntut kompromi, tetapi tetap mempertahankan citra sebagai simbol perlawanan yang tidak tunduk. Inilah yang membuat Hamas tetap populer di Gaza meski menghadapi tekanan militer dan ekonomi yang berat.

Dalam konteks rekonsiliasi, penjelasan Wagemakers membantu memahami bahwa Hamas tidak dapat dipaksa menyerah total. Sebaliknya, proses rekonsiliasi hanya berjalan jika kedua pihak mampu menemukan titik temu antara diplomasi dan resistensi-dua strategi yang sama-sama memiliki basis dukungan di masyarakat Palestina.

Konflik Israel-Hamas belakangan mempertegas bahwa perpecahan internal Palestina merupakan salah satu hambatan terbesar menuju kemerdekaan. Perundingan dengan Israel atau komunitas internasional sulit dilakukan jika Palestina tidak memiliki satu suara politik yang utuh.

Momen pasca-gencatan senjata seharusnya menjadi ruang refleksi bagi semua faksi Palestina. Hamas mengatakan siap berdialog "dengan hati dan tangan terbuka". Fatah juga mengindikasikan kesediaan untuk merumuskan kembali mekanisme pemerintahan, terutama mengenai Gaza setelah perang ini mereda. Tetapi kepercayaan adalah modal yang selalu rapuh dalam dinamika hubungan keduanya.

Persatuan bukan hanya menyoal penyatuan institusi, melainkan penyelarasan strategi jangka panjang. Palestina memerlukan diplomasi internasional untuk mendapat dukungan pengakuan negara, tetapi juga memerlukan kekuatan internal untuk mempertahankan hak dan wilayahnya. Selama kedua strategi berjalan sendiri, tekanan eksternal akan terus memperlemah posisi politik Palestina.

Peran Indonesia dalam Diplomasi Moral

Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam mendukung Palestina, mulai dari era Presiden Sukarno hingga hari ini. Dalam diplomasi, Indonesia berperan sebagai kekuatan moral yang mengedepankan kemanusiaan, solidaritas Global South, dan prinsip anti-penjajahan sebagaimana termaktub dalam politik luar negeri bebas-aktif.

Pujian Trump kepada Prabowo dalam forum ASEAN menunjukkan Indonesia mulai diposisikan sebagai aktor yang dapat mempengaruhi percakapan regional terkait Palestina. Bagi Indonesia, peran ini merupakan pencapaian diplomatik sekaligus penguatan komitmen historis dan ideologis terhadap perjuangan Palestina.

Indonesia dapat memainkan tiga peran strategis: Pertama, mediator komunikasi antar-faksi Palestina, dengan menempatkan posisi Indonesia diterima di Gaza maupun Ramallah; Kedua, Diplomasi Kemanusiaan, yang dapat meredakan ketegangan dan membangun kepercayaan dasar sebelum politik negosiasi dijalankan; Ketiga, konsistensi dalam forum Internasional, agar isu Palestina tidak tenggelam dalam dinamika geopolitik yang berubah cepat.

Sehingga persatuan Hamas dan Fatah tak hanya menyoal politik internal, melainkan syarat mendasar bagi masa depan Palestina. Tanpa kesatuan, perjuangan akan terus terfragmentasi dan mudah dicegah oleh tekanan eksternal. Sebaliknya, dengan satu suara yang utuh, Palestina memiliki peluang lebih besar untuk memperjuangkan hak-haknya di forum internasional dan dalam negosiasi jangka panjang.

Kemerdekaan bukan hanya hasil pertarungan fisik atau diplomasi, melainkan buah dari kemampuan suatu bangsa untuk mendefinisikan dirinya secara utuh. Dan bagi Palestina, perjalanan menuju kemerdekaan adalah jalan panjang yang harus dilanjutkan, setapak demi setapak, persatuan sebagai fondasinya.


Aji Cahyono. Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence, Awardee Research Megawati Fellowship Program, dan Progam Master Bidang Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lihat juga Video '11 Tahun Berlalu, Jasad Perwira Militer Israel Akan Dikembalikan Hamas':




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork