×
Ad

Sekolah Retak, Kota Tersentak: Baca Tanda, Selamatkan Nyawa

Devie Rahmawati - detikNews
Sabtu, 08 Nov 2025 16:17 WIB
Foto: Devie Rahmawati (dok Pribadi)
Jakarta -

Perundungan merobek kepercayaan; sains sudah memberi peta, saatnya bertindak.

Rangkaian Dialog Peradaban 2025 oleh Gusdurian, PYC dan Soka Gakkai Indonesia, ditutup dengan pesan hangat tentang persahabatan. Di saat yang sama, kota tersentak oleh ledakan di SMAN 72 Jakarta. Soal motif, biarkan penyidik bekerja; jangan buru-buru menuduh. Tapi satu hal tak boleh ditunda: menguatkan jaring kepercayaan di sekitar anak muda, karena perundungan merusak dari segala arah.

"Berbicaralah dari hati; di sanalah kepercayaan dilahirkan" - Gus Dur.

"Damai bukan sekadar ketiadaan konflik; damai adalah orbit saling percaya yang membuat manusia riang, bertenaga, dan berharap" - Daisaku Ikeda.

Kedua kalimat ini bukan hiasan dinding. Ini GPS kerja: jujur, terbuka, dan saling percaya, sebelum sunyi berubah jadi amuk.

Pukulan Tiga Arah

Ilmu pengetahuan mengingatkan: perundungan melukai korban, memerosotkan pelaku, dan menggerus saksi. Korban kerap mengalami cemas, murung, sulit tidur, nilai turun, dan keluhan kesehatan.

Pelaku berisiko menyeret diri pada perilaku kasar dan masalah hukum.

Saksi yang diam-diam menyaksikan pun bisa terhantam stres dan rasa bersalah. Jika anak sebelumnya sudah rentan, risiko berlipat. Ini bukan mitos; ini pola yang berulang dalam kajian kesehatan masyarakat.

Baca Tanda, Selamatkan Lebih Cepat

Kekerasan di sekolah jarang meletup tanpa tanda. Sering ada bocoran niat, perubahan perilaku, atau upaya mencari bahan berbahaya. Artinya, kita bisa memutus rantai sebelum terlambat, asal peka, tercatat, dan ada jalur tindak lanjut yang jelas.

Mari Gunakan Protokol "SIAGA", agar mudah diingat dan mudah dijalankan:

S - Simak tanda: ejekan menjadi ancaman, unggahan mempermalukan, menarik diri mendadak.

I - Ikut campur dengan aman: ajak bicara empat mata, simpan bukti, temani ke orang dewasa terpercaya.

A - Arahkan bantuan: hubungkan ke guru BK/pendamping, libatkan orang tua bila perlu.

G - Galang keamanan: pisahkan sementara pihak yang berselisih, batasi akses pada benda berbahaya.

A - Akhiri dengan pemulihan adil: bukan mempermalukan, tetapi memperbaiki, minta maaf yang sungguh, ganti kerugian, belajar empati, dan pemantauan.

Saksi Bersuara, Luka Lebih Cepat Pulih

Saksi bukan penonton. Saksi tanggap, yang berani menolong dengan aman, menurunkan dampak sosial dari perundungan. Caranya sederhana: temani, catat, laporkan. Bila satu teman berdiri, teman lain ikut berdiri. Budaya "tengok dan tegur" ini membuat anak tahu: kau tidak sendirian.

Sunyi yang Menyembuhkan, Bukan Menjauh

Namun ada kabar penting yang kerap luput di tengah bisingnya lini masa: Gen Z tidak selalu "kesepian", mereka juga sedang menemukan "sunyi yang sehat." Riset kualitatif terbaru menyoroti fenomena alone but not lonely: Banyak anak muda kini memilih hening yang disengaja: jeda dari kebisingan, duduk di taman, menata napas. Itu bukan lari; itu pernapasan sebelum kembali ke keramaian. Sunyi yang benar menambah daya tahan: lebih tahan gosip, lebih waras menghadapi ejekan, lebih jernih saat mengambil keputusan. Sekolah bisa menyediakan sudut hening dan bangku ramah, tanda "aku ingin ditemani", dengan pendampingan agar tak jadi bahan olok-olok.

Di level populasi, gambaran besarnya tegas: banyak muda dewasa tidak sedang "mekar." Data Global Flourishing Study (Harvard-Baylor, basis Gallup, lebih dari 200.000 responden di 23 negara) menunjukkan generasi 18-29 tahun merosot pada dimensi relasi dekat, makna, dan tujuan, terutama di negara-negara maju. Peneliti menekankan, penyebabnya bukan semata ponsel; berkurangnya keterlibatan kelompok dan individualisme yang menguat ikut menggerus rasa bermakna. Terjemahannya sederhana: kita kekurangan tempat dan kebiasaan untuk terhubung secara nyata.

Dari Panggung ke Lorong Kelas

Kita tak butuh seremoni baru; kita butuh kebiasaan yang menyelamatkan. Rasa memiliki sekolah dibangun dari hal kecil yang konsisten: guru membuka pelajaran dengan sapaan, "siapa hari ini yang ingin ditemani?" Teman sebaya belajar membela dengan aman, bukan ikut menyoraki.

Pemulihan adil menggantikan tontonan hukuman: pelaku bertanggung jawab memperbaiki yang dirusak, belajar merasakan akibat perbuatannya, dan diawasi agar tidak mengulang.

Jembatan ke dunia nyata diperbanyak: komunitas minat yang rutin, perpustakaan yang hidup, olahraga lintas kelas, sering dan dekat, bukan megah sesekali. Di sanalah pertemanan tumbuh tanpa paksaan.

Mengapa Harus Sekarang?

Karena riset menunjukkan: program anti-perundungan yang dijalankan serius mampu menurunkan angka pelaku dan korban secara bermakna. Karena pengalaman banyak negara juga menunjukkan: tanda-tanda dini bisa dicegat, bila sekolah punya tim kecil yang peka dan jalur tindak lanjut yang tegas. Dan karena kita tahu: kedekatan dengan sekolah, menjadikan rasa "ini rumahku", adalah pelindung mental yang nyata.

Penutup: Matikan Api, Hidupkan Kepercayaan

Penutupan Dialog Peradaban 2025 memberi arah; duka di halaman sekolah memberi alarm. Pegang dua amanat: jujur-terbuka (Gus Dur) dan saling percaya yang membahagiakan (Ikeda). Di lorong kelas, di grup orang tua, di halaman sekolah, dan di linimasa kita, jalankan SIAGA setiap hari.

Ketika jaring kepercayaan menguat, api kebencian kehabisan oksigen. Kota ini kembali layak ditinggali oleh anak-anak yang ingin tumbuh, tertawa, dan berani bermimpi. Dan damai, akhirnya, bukan sekadar kata; ia terasa, hangat, bertenaga, penuh harapan.

Devie Rahmawati

Pengajar Program Studi Hubungan Masyarakat Vokasi UI

Tonton juga video "Kata KPAI soal Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Korban Bullying"




(jbr/jbr)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork