Satu Tahun Bebas Aktif Politik Luar Negeri Prabowo-Gibran
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Satu Tahun Bebas Aktif Politik Luar Negeri Prabowo-Gibran

Kamis, 06 Nov 2025 12:20 WIB
Probo Darono Yakti
Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP Universitas Airlangga serta Founder Nusantara Policy Lab. Fokus pada studi pertahanan, diplomasi maritim, dan politik luar negeri Indonesia dalam dinamika Global South.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Prabowo Subianto (bawah) didampingi Menteri Luar Negeri Sugiono (depan, tengah), Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya (depan, kiri), Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM Rosan Roeslani (kanan), Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Umar Hadi (atas, tengah) dan Menteri HAM Natalius Pigai (atas) mengikuti jalannya Konferensi Internasional Tingkat Tinggi (KITT) untuk Penyelesaian Damai atas Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Senin (22/9/2025). Presiden Prabowo menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap Deklarasi New York, yang menyebutkan Solusi Dua Negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi bagi Palestina dan Israel. ANTARA FOTO/Fathur Rochman/app/nz
Foto: Presiden Prabowo Subianto (bawah) didampingi Menteri Luar Negeri Sugiono (depan, tengah) (ANTARA FOTO/FATHUR ROCHMAN)
Jakarta -

Satu tahun kebijakan luar negeri RI di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan di tengah dunia yang tidak lagi sama dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Peta kekuatan global sedang mengalami reshuffling besar seperti kebangkitan BRICS+, krisis energi dan pangan, rivalitas teknologi Amerika Serikat-Tiongkok, serta kebangkitan politik Global South.

Indonesia memasuki pusaran ini dengan modal diplomasi yang kuat di era sebelumnya, tetapi juga menghadapi tantangan baru yakni apakah politik luar negeri kita masih bebas-aktif, atau mulai tergiring-reaktif di tengah tekanan kepentingan global?

Bahkan lebih parahnya lagi, cenderung akomodatif pada semua pihak tanpa tedeng aling-aling sebagai terjemahan kasar politik luar negeri bebas-aktif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari Diplomasi Infrastruktur ke Diplomasi Pertahanan

Jika era Jokowi ditandai oleh diplomasi ekonomi-infrastruktur, maka Prabowo menghadirkan babak baru: diplomasi pertahanan. Kementerian Pertahanan menjadi kanal utama dalam pergaulan luar negeri Indonesia, dari kunjungan bilateral hingga forum multilateral.

Prabowo menegaskan bahwa keamanan nasional adalah bahasa universal diplomasi. Hubungan dengan Rusia dan Tiongkok dikuatkan melalui minilateralisme BRICS+, sementara hubungan dengan Amerika Serikat dan Jepang dijaga dalam koridor pragmatis.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, Gibran berperan sebagai simbol soft power generasi baru yang mempromosikan diplomasi digital dan ekonomi kreatif. Namun, fokus pada keamanan membawa konsekuensi: diplomasi sipil yang dulu menonjol kini tampak berkurang ruang artikulasinya.

Realitas diplomasi Indonesia hari ini menunjukkan gejala overload institusional. Kompleksitas isu global mulai dari perang Gaza dan Ukraina, dedolarisasi, transisi energi, hingga arsitektur baru Indo-Pasifik menuntut kapasitas koordinasi lintas kementerian yang jauh lebih kuat.

Sayangnya, struktur Kementerian Luar Negeri belum mampu menampung beban geopolitik sebesar itu. Menteri Luar Negeri dan tiga Wakil Menteri Luar Negeri menghadapi kesulitan mengkover semua kebutuhan kebijakan luar negeri yang semakin kompleks. Diplomasi energi, pertahanan, lingkungan, ekonomi digital, hingga kemanusiaan berjalan dengan ritme masing-masing tanpa orkestra tunggal.

Akibatnya, beberapa sikap Indonesia tampak reaktif, tidak terintegrasi dalam satu narasi strategis. Dalam kasus Gaza misalnya, posisi Indonesia masih terjebak antara moralitas dan kalkulasi politik, sementara di isu Ukraina sikap kita terlihat pasif dan serba hati-hati.

Ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk memperkuat policy coherence antara Kemlu dan kementerian sektoral. Banyaknya improvisasi dalam dimensi praksis ditengarai menjadi penyebab saat ini kebijakan luar negeri dijalankan tanpa navigasi yang jelas.

Strategi Multiblok dan Visi Maritim yang Kandas

Satu tahun terakhir seharusnya menjadi momentum memperbarui makna "bebas-aktif". Prinsip klasik itu tidak cukup hanya diulang dalam pidato, tetapi harus diterjemahkan ke dalam praktik diplomasi multipolar yang dialogis-proaktif yang dapat dimaknai sebagai kemampuan berpihak pada kepentingan nasional melalui dialog dan kerja sama lintas blok.

Indonesia tidak bisa hanya menyeimbangkan, tapi juga harus membentuk wacana. Keterlibatan aktif di forum BRICS+ Dialogue, South-South Cooperation, dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang menegaskan posisi Indonesia sebagai jembatan antar kekuatan besar.

Namun tanpa koordinasi kebijakan yang solid di dalam negeri, capaian ini berisiko menjadi seremonial belaka.

Indonesia kini berupaya menghindari jebakan bipolar dengan tidak terseret antara Washington dan Beijing. Pendekatan multiblok menjadi strategi realistis melalui pembangunan hubungan simultan dengan berbagai kekuatan tanpa kehilangan otonomi, misalkan dengan diplomasi BRICS+ dipadukan dengan komitmen ASEAN menjadikan Indonesia poros penyeimbang.

Tantangannya, menjaga kredibilitas agar tidak tampak "menunggang dua kuda" sekaligus. Peluangnya, Indonesia bisa tampil sebagai broker of cooperation antar blok melalui kerja sama ekonomi biru, energi terbarukan, dan konektivitas maritim dengan potensi nilai perdagangan Indonesia dengan BRICS+ pada 2024 mencapai lebih dari US$ 182 miliar, naik hampir 20 persen dibanding lima tahun sebelumnya.

Visi Poros Maritim Dunia legasi Presiden Jokowi belum benar-benar dihidupkan kembali. Padahal, posisi Indonesia di jalur perdagangan dunia yakni Selat Malaka, Sunda, dan Lombok sehingga menempatkannya sebagai simpul vital sea lanes of communication.

Kerja sama maritim dengan negara-negara BRICS+ seperti India, Brasil, Rusia, Afrika Selatan, dan Tiongkok bisa membuka jalur baru perdagangan biru, energi laut, dan keamanan pelayaran. Namun hingga kini, kebijakan maritim masih sporadis, belum menjadi prioritas utama politik luar negeri.

Prabowo seharusnya mendorong pembentukan BRICS+ Maritime Corridor dan forum Blue Diplomacy untuk menegaskan kembali identitas Indonesia sebagai bangsa pelaut yang berdaulat sekaligus aktor penyeimbang di Indo-Pasifik.

Menatap Tahun Kedua dengan Citra Global South

Indonesia kini dipuji sebagai the voice of the Global South, terutama sejak keberhasilannya memimpin G20 dan forum South-South. Namun, itu juga berarti ujian mengingat dunia menunggu apakah Indonesia benar-benar akan tampil sebagai pemimpin moral Global South, atau sekadar "mediator netral" tanpa visi besar. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi pertambangan dan keamanan pangan serta komitmen etis seperti lingkungan, HAM, dan etika digital masih goyah.

Diplomasi ekonomi masih lebih dominan daripada diplomasi nilai. Padahal, di tengah krisis legitimasi global, dunia memerlukan suara yang berbicara tentang keadilan dan keberlanjutan. Sebuah peran yang secara historis pernah dipegang Indonesia di masa Konferensi Asia-Afrika.

Prinsip yang harus dipegang adalah kekuatan diplomasi tidak dapat diukur hanya dari seberapa banyak perjanjian ditandatangani, tetapi dari seberapa dalam kita menginspirasi tatanan yang lebih adil.

Tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran dapat dikatakan sebagai fase konsolidasi arah. Tahun kedua harus menjadi fase artikulasi visi global Indonesia. Diplomasi kita perlu kembali menyatukan pertahanan, ekonomi, dan nilai kemanusiaan dalam satu strategi kebangsaan.

Indonesia tidak boleh hanya berjalan di antara kekuatan besar, tetapi berlayar membawa arah sendiri dari lingkup sebatas Samudra Hindia menuju masa depan Global South. Dalam dunia yang penuh rivalitas, kemampuan menjaga otonomi dan kedaulatan moral akan menjadi tolok ukur apakah politik luar negeri Indonesia tetap bebas-aktif, atau sekadar ikut arus kekuasaan global.

Probo Darono Yakti. Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP Universitas Airlangga.

Lihat juga Video Rapor LSI Denny JA Setahun Prabowo-Gibran: 5 Nilai Biru, 1 Merah

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads