Membangun Ketahanan Informasi di Era Matinya Kepakaran
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membangun Ketahanan Informasi di Era Matinya Kepakaran

Rabu, 05 Nov 2025 12:11 WIB
Firman Kurniawan
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Penipuan dan spam digital semakin marak, mengancam keamanan data dan finansial masyarakat.
Foto: Ilustrasi informasi hoax di internet (Shutterstock)
Jakarta -

Ini soal prebunking, yang perannya dapat membangun ketahanan khalayak dari paparan informasi palsu. Penerapannya sebagai strategi komunikasi, yang bertujuan mencegah pembentukan kognisi khalayak oleh disinformasi. Disinformasi yang dipabrikasi dan didistribusikan secara massif. Caranya, dengan membekali pengetahuan maupun teknik berpikir kritis agar khalayak tak terperdaya disinformasi.

Gagasan prebunking diajukan oleh William McGuire--seorang psikolog sosial--di tahun 1960-an. Seperti memasukkan virus sebagai vaksin pada tubuh --yang disebut sebagai inokulasi- agar tubuh belajar menangkal penyakit yang sudah dikendalikan. Pada prebunking, informasi dimasukkan sebagai inokulasi perilaku agar membentuk ketahanan psikologi.

Hasilnya, khalayak mampu menangkal ajakan-ajakan yang tampak masuk akal, menarik, namun sesungguhnya palsu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hari ini, banyak sekali informasi dipalsukan, atau setidaknya dibengkokkan kebenarannya. Misalnya, sejak Pak Purbaya Yudhi Sadewa dilantik sebagai menteri keuangan, banyak sekali pemberitaan tentangnya.

Dan dengan bantuan Copilot AI, didapatkan penjelasan: satu bulan sejak dilantik pada 8 September 2025, tak kurang dari 65.667 kali Pak Purbaya disebut di media digital. Ini menjadikannya, sebagai pejabat yang paling disorot di Indonesia.

ADVERTISEMENT

Sosok ini memang telah menjadi media darling. Bahkan memunculkan fenomena: tiada hari tanpa wajah dan pernyataan Pak Purbaya. Jika banyak tanggapan bernada baik, ini mengindikasikan penerimaan keberadaannya. Ibarat panggung tontonan baru, seluruh unggahan tentang Pak Purbaya diperhatikan dengan asyik. Juga diikuti terbitnya harapan. Harapan pasca khalayak marah, dan memuncak sebagai demo besar di akhir Agustus 2025 lalu.

Kegandrungan khalayak pada Pak Purbaya, bersumber dari pernyataan-pernyataannya yang teoritis namun mudah dicerna. Ini misalnya: Kebijakan Pak Purbaya menarik uang pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia, dan dimasukkan ke sistem perbankan komersial. Dinyatakannya, pemindahan uang dari bank sentral ke bank-bank milik negara itu, bertujuan menggerakkan sektor usaha.

Kondisi ini dapat dimengerti: ketika sektor usaha memanfaatkan gelontoran uang triliunan sebagai pinjaman modal, dapat digunakan untuk mengembangkan aktivitas baru. Aktivitas yang membuka lapangan kerja, akibat adanya kebutuhan tenaga kerja baru. Banyaknya tenaga kerja yang terserap, menambah jumlah orang yang punya daya beli dari upahnya.

Daya beli yang menguat, berarti memutar roda perekonomian untuk mencetak pertumbuhan baru. Teoritis, namun runtutan akibatnya hingga di titik akhir, memperlihatkan kejelasan. Soal nantinya kebijakan itu tak sepenuhnya tercapai, setidaknya khalayak telah turut memikirkan peluang keberhasilannya.

Namun sesuai hukum universal: aksi memancing timbulnya reaksi. Ini dengan arah yang sebaliknya. Tereplikasi di media digital, tempat Pak Purbaya memperoleh panggung distribusi informasi.

Besarnya lovers, diikuti lahirnya haters. Dan jika hari ini muncul unggahan-unggahan, berjudul: "Purbaya Terancam Reshufle, Akibat Menolak Membayar Hutang Whoosh dan Bentrok dengan Pejabat" atau "Membahayakan, Ferry Minta Menkeu Purbaya Segera Diganti. Tindakannya Bukan Ekonom, Tapi Politisi". Juga "Gebrakan Menkeu Purbaya Jangan Sampai Menjadi Bumerang yang Berbalik Menghabisi Diri Sendiri".

Seluruhnya bisa jadi, merupakan indikasi sikap pihak yang tak setuju dengan kebijakan Pak Purbaya.

Soal lovers maupun haters ini, juga jadi fenomena yang mengemuka pada kebijakan Menteri ESDM, Pak Bahlil. Kebijakan terbarunya, akan mencampur bensin dengan 10% Etanol. Tujuannya, mengurangi emisi karbon sekaligus mereduksi impor BBM.

Jika langkahnya berhasil, selain devisa negara dihemat juga terformulasi BBM yang ramah lingkungan. Bensin campur Etanol ini, telah digunakan di negara lain dengan sebutan biofuel. Keberadaannya menjadi sumber energi bersih, yang turut mengendalikan pemanasan global.

Namun kebijakan Pak Bahlil pun menuai lovers dan haters. Terlepas dari kealamiahan dua sikap yang berseberangan di media sosial, kebijakan 10% Etanol belum diterapkan di Indonesia. Baru akan dilaksanakan antara tahun 2026 hingga 2027.

Namun uniknya, di pekan terakhir Bulan Oktober beredar kabar banyak motor -terutama di Jawa Timur-- yang mengalami gangguan mesin. Ini setelah diisi Pertalite Pertamina. Para pemilik motor meyakini: penyebab gangguan itu, akibat penggunaan Pertalite yang dicampur Etanol.

Salah satu pernyataannya, dikemukakan Miftahul Haqi di Lamongan. Termuat pada berita detikcom, 27 Oktober 2025, berjudul: "Ojek Online di Lamongan Keluhkan Pertalite Diduga Tercampur Etanol, Banyak Motor Mogok". Dinyatakan oleh pemilik kendaraan itu, "Kalau bisa jangan diteruskan dulu Etanolnya. Tingkatkan mutu dan kualitas Pertalite-nya. Kami rakyat kecil, jadi sangat berharap kepentingan rakyat yang diutamakan".

Pernyataan lainnya juga termuat di media yang sama, 28 Oktober 2025. Judulnya: "Banyak Motor Baru di Surabaya Brebet, Diduga Gegara Pertalite". Warga bernama Ahmad --yang mesin motornya terganggu-- menyatakan, "Katanya bensinnya itu kan ada campuran Etanol-nya yang lumayan banyak. Jadi baunya itu gak kayak bau bensin, kayak pepaya busuk, bau pokoknya. Jadi itu benerin motornya, ya, harus dikuras dulu bensinnya".

Tampaknya --dari berbagai unggahan yang mengaitkan dengan produk Pertamina itu-khalayak menolak kebijakan Kementerian ESDM. Bahwa memang ada mesin motor yang terganggu setelah diisi produk Pertamina, namun bukan Etanol penyebabnya. Bisa jadi, isu Etanol ini adalah sikap haters yang beredar sebagai informasi palsu.

Jika terhadap Pak Purbaya tampak banyak yang bersikap sebagai lovers, sebaliknya pada Pak Bahlil lebih banyak yang bersikap sebagai haters. Namun pertanyaannya: apakah pilihan sikap sebagai lovers atau haters, dibentuk oleh penalaran mandiri masing-masing khalayaknya? Tak tampak jelas, sejauh mana sikap itu tersusun oleh kehendak bebas dan pikiran yang penuh penghayatan?

Juga, sejauh mana sikap itu bukan merupakan hasil pabrikasi informasi palsu yang operasinya dipengaruhi algoritma? Apakah khalayak digital memiliki ketahanan informasi untuk tak terpengaruh informasi yang dibengkokkan?

Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat dijawab menggunakan pendekatan Cultivation Theory. Ini diformulasikan oleh George Gerbner, di akhir tahun 1960-an. Gerbner mengemukakan: paparan televisi, maupun media apa pun dalam jangka panjang namun bertahap, membentuk pandangan khalayak tentang realitas yang dihayatinya. Pada pengguna media yang intensif, gambar dan pesan yang ditampilkan akan dihayati sebagai dunia yang lebih keras dan menakutkan. Ini disebut sebagai "Sindroma Dunia Kejam".

Dengan pernyataan lain: pengguna media menyelaraskan dunia yang dihayatinya, dengan penghayatan yang lebih mengerikan. Di saat itu, belum terbayang adanya media sosial yang dimiliki lebih dari setengah penduduk dunia. Maka dengan kepemilikannya hari ini yang massif, pengaruhnya pun lebih intensif. Saat sering diberitakan terjadinya pembegalan --jika ada kerabat yang pulang terlambat-- yang dibayangkan telah mengalami pembegalan. Padahal, kerabat itu hanya mampir sebentar membeli kudapan dan menikmatinya. Dunia tampak terfabrikasi dan dihayati lebih mengerikan.

Sedangkan dalam konteks media sosial, Tracey Chizoba Fletcher, 2025, dalam "The Role of Social Media in Shaping Public Opinion", menjelaskan pengaruh media ini, membentuk opini khalayak. Pembentukannya melalui filter bubble dan echo chamber informasi, yang sesuai dengan minat dan keyakinan khalayak. Senada dengan itu, Tiffany Perkins-Munn, 2025--dalam "How Social Media Algorithms Affect What We See and Believe" -- menyebutkan: algoritma media sosial mungkin tak kasat mata, tetapi luar biasa pengaruhnya.

Keberadaannya memegang kendali, atas hal yang dilihat secara online: kapan melihatnya, dan seberapa seringnya. Seluruhnya secara melekat membentuk pandangan terhadap dunia yang dihayati. Implikasinya, semakin terkurasi informasi yang diterima, semakin terlindungi pengguna dari perspektif yang lain. Ini berarti, semakin khalayak menerima informasi yang terfabrikasi makin tertutup dirinya dari alternatif informasi yang lain.

Kedua pernyataan di atas, memang bukan temuan baru atas peran media sosial dalam membentuk kognisi khalayak. Namun terhadap hal yang tak kunjung selesai -khalayak yang terombang ambing informasi palsu-- apa yang harus dilakukan, untuk membangun ketahanan informasinya?

Prebunking dapat dijadikan sebagai pilihan. Ibarat merajalelanya virus atau bakteri yang mengancam kesehatan, negara tak bisa hanya menyarankan warganya: menyantap makanan yang bergizi dan menjaga kesehatan.

Negara harus menyelenggarakan vaksinasi massal, demi terbangunnya herd immunity. Demikian pula dengan informasi palsu yang difabrikasi, negara tak hanya bisa menyarankan agar khalayak meningkatkan literasinya dan tak mengedarkan informasi tak jelas.

Prebunking untuk membangun inokulasi (menginduksi kekebalan) perilaku harus dilakukan negara. Ini daripada, warga terombang-ambing informasi palsu dan dapat mempersulit penerapan kebijakan yang memang diperlukan. Hal ini juga bisa melemahkan ketahanan negara. Mengandalkan warganya paham sendiri, jelas tak akan mampu.

Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org.

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads