Kolom

Mencermati Kiprah BUMN Era Danantara

Ali Mutasowifin - detikNews
Selasa, 04 Nov 2025 16:42 WIB
Foto: Badan investasi Danantara menempati kantor baru yang berlokasi di bekas Plaza Mandiri, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. (Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta -

Ketika Pemerintah membentuk Danantara dan mengubah Kementerian BUMN menjadi Badan Pengatur BUMN, masyarakat menantikan perubahan yang akan terjadi pada perusahaan-perusahaan milik negara.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang memiliki peran sentral dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Hampir semua bidang dirambah, mulai dari sektor energi, transportasi, konstruksi, hingga keuangan, perusahaan-perusahaan milik negara menjadi tulang punggung pembangunan dan penyedia berbagai layanan publik yang strategis.

Namun, di balik posisi vital itu, BUMN juga terus dibayangi problem klasik: kinerja keuangan yang belum optimal, efisiensi yang rendah, serta tata kelola yang kerap terseret kepentingan politik.

Efisiensi dan Profitabilitas yang Tertinggal

Sebelum bersalin rupa menjadi Badan Pengaturan BUMN, Kementerian BUMN mencatat, dari lebih dari seratus perusahaan milik negara, hanya sebagian kecil yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara. Banyak di antaranya yang masih merugi dan bergantung pada suntikan modal dan subsidi pemerintah.

Penelitian Wicaksono dan Siregar (2021) di Asian Journal of Economic Perspectives menegaskan bahwa problem utama BUMN adalah inefisiensi akibat birokrasi yang kaku, intervensi politik yang tinggi, dan lemahnya sistem pengambilan keputusan.

Kondisi ini semakin memburuk ketika fungsi pengawasan diisi oleh orang-orang tanpa kompetensi yang memadai di bidang bisnis.

Salah satu persoalan yang sering disorot adalah penempatan komisaris berdasarkan kedekatan politik, bukan kemampuan profesional. Seusai kemenangan Presiden Prabowo Subianto, sejumlah kursi komisaris BUMN memang kemudian dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya terlibat dalam tim sukses kampanye Presiden.

Banyak pesohor yang tiba-tiba mendapatkan posisi sebagai komisaris pada BUMN yang bidang bisnisnya berbeda sangat jauh dengan keahliannya yang selama ini dikenal oleh masyarakat. Selain pesohor, para pejabat publik pun tak ketinggalan memenuhi posisi komisaris di berbagai BUMN strategis.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh kompetensi dijadikan pertimbangan dalam pengangkatan pejabat strategis di perusahaan negara.

Praktik pengisian kursi komisaris semacam ini seolah menantang hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmandi dan Purnomo (2020) dalam Journal of Public Administration Studies, yang mengungkapkan bahwa praktik patronase politik dalam pengangkatan komisaris berpotensi melemahkan kinerja dan akuntabilitas korporasi. Ketika jabatan strategis digunakan sebagai sarana politik balas jasa, maka profesionalisme akan menjadi hal yang dikorbankan.

Upaya perlawanan terhadap praktik ini bukannya tidak ada, di antaranya melalui gugatan hukum yang sebagian di antaranya membuahkan hasil. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 menegaskan bahwa wakil menteri (wamen) dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. Putusan ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat prinsip tata kelola yang bersih dan bebas konflik kepentingan.

Membangun Meritokrasi dan Akuntabilitas

Namun, aturan tersebut belum sepenuhnya menutup peluang rangkap jabatan. Para pejabat tinggi kementerian dan lembaga negara masih diperbolehkan menduduki posisi komisaris. Celah inilah yang memunculkan kekhawatiran akan efektivitas fungsi pengawasan, mengingat kesibukan dan tanggung jawab mereka di birokrasi sudah sangat besar.

Untuk memperbaiki kondisi tersebut, reformasi tata kelola seharusnyalah menjadi agenda utama. Penunjukan direksi dan komisaris semestinya didasarkan pada kinerja dan keahlian, bukan afiliasi atau balas jasa politik. Rekrutmen profesional asing di Garuda Indonesia barangkali bisa menjadi contoh penerapan meritokrasi, asalkan dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Seperti telah banyak diberitakan, belum lama ini PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk melakukan perombakan jajaran direksi. Dua profesional asing, Neil Raymond Mills dan Balagopal Kunduvara, dipercaya sebagai Direktur Transformasi serta Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko.

Keduanya bukanlah nama sembarangan, karena memiliki pengalaman panjang di industri penerbangan global, seperti Green Africa Airways dan Singapore Airlines.

CEO Danantara, Rosan Roeslani, mengutarakan bahwa keputusan mengenai orang asing menjadi direksi BUMN ini merupakan hasil kajian selama satu tahun penuh, untuk mempercepat proses pemulihan pascarestrukturisasi dan meningkatkan daya saing Garuda di pasar internasional.

Kebijakan tersebut memang sempat memunculkan perdebatan, termasuk penunjukan Glenny Kairupan sebagai Direktur Utama padahal minim pengalaman dalam industri dirgantara, namun sekaligus menjadi sinyal penting bahwa kompetensi dan profesionalisme global mulai diutamakan dalam pengelolaan BUMN.

Guna memperkuat upaya perbaikan tatakelola, Danantara dan Badan Pengaturan BUMN dapat memanfaatkan momentum putusan Mahkamah Konstitusi dengan memperluas larangan rangkap jabatan, tidak hanya sebatas wakil menteri, tetapi juga hingga pejabat yang memiliki tanggung jawab strategis di kementerian/lembaga negara.

Mereka perlu memperhatikan peringatan Fich dan Shivdasani (2004), yang dalam penelitiannya "Are Busy Boards Effective Monitors?" mengungkapkan bahwa perusahaan yang digawangi oleh para komisaris yang sibuk lebih sering membukukan rasio nilai pasar/nilai buku serta laba operasional yang lebih rendah. Mereka juga membuktikan bahwa para komisaris yang sibuk biasanya berkaitan dengan tatakelola perusahaan yang lemah.

Oleh karena itu, dalam rekrutmen pengurus BUMN perlu diterapkan seleksi berbasis kompetensi. Setiap calon direksi dan komisaris perlu melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang terbuka untuk publik. Praktik semacam ini akan mencegah kursi direksi dan komisaris dikuasai oleh mereka yang memiliki kedekatan pada penguasa tanpa diiringi kompetensi yang memadai.

Prinsip "the right man, in the right place, at the right time" haruslah menjadi pedoman dalam pemilihan personel yang akan menggawangi perusahaan milik negara.

Setelah pemilihan pengurus BUMN, harus pula diikuti dengan evaluasi kinerja yang transparan. Danantara dan BP BUMN harus menggunakan indikator yang objektif dan terukur agar fungsi pengawasan tidak sekadar formalitas.

Evaluasi ini dapat dilengkapi dengan pengawasan yang melibatkan pihak independen. Akademisi, profesional, dan lembaga pengawas perlu dilibatkan dalam komite audit atau dewan pengawas BUMN.

Yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya membatasi intervensi politik. Pemerintah harus mau menegaskan BUMN adalah entitas bisnis yang perlu dijalankan secara profesional dan berorientasi pada kinerja, bukan kepentingan elektoral. Di sisi lain, masyarakat dapat pula menggunakan kinerja BUMN untuk menilai komitmen pemerintah saat kontestasi politik berkala.

Membangun Pilar Ekonomi yang Tangguh

BUMN tidak hanya berperan sebagai mesin ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen pelayanan publik. Namun, agar peran itu dapat berjalan maksimal, perusahaan negara harus dibebaskan dari tekanan politik dan kepentingan pribadi.

Transformasi BUMN tidak cukup dilakukan melalui perubahan struktur manajemen, melainkan juga melalui reformasi budaya kerja, transparansi, dan akuntabilitas.

Jika beragam pembenahan itu dilakukan secara menyeluruh dan konsisten, BUMN dapat diharapkan akan kembali menjadi motor penggerak ekonomi nasional yang efisien, kompetitif, dan berdaya saing global, bukan sekadar alat politik kekuasaan.

Ali Mutasowifin. Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork