Siang itu, di antara riuh percakapan para pemikir dan denting cangkir kopi yang masih mengepul, aku berjumpa dengan Jeffrey Sachs - seorang ekonom yang melampaui batas profesinya. Ia bukan sekadar pengurai angka dan model, melainkan penafsir nurani peradaban. Wajahnya teduh, suaranya tenang, namun tiap kalimat yang meluncur darinya menyimpan daya guncang yang dalam.
Di ruang itu, ekonomi tidak lagi bicara tentang pasar dan modal, tapi tentang manusia dan maknanya.
Lamat-lamat pikiranku kembali pada salah satu karyanya yang paling berpengaruh, The Price of Civilization. Buku itu, bagi saya, bukan sekadar refleksi atas krisis ekonomi global, melainkan renungan moral atas arah dunia modern.
Sachs menulis dengan kesadaran bahwa kemajuan selalu datang dengan harga - bukan sekadar dalam bentuk anggaran atau defisit, tetapi dalam bentuk empati yang hilang, solidaritas yang tergerus, dan nurani publik yang terkikis oleh pragmatisme.
Dalam buku itu, Sachs menegaskan bahwa krisis terbesar manusia bukanlah krisis ekonomi, melainkan krisis etika. Ia mengingatkan bahwa peradaban modern telah terlalu lama menukar nilai dengan efisiensi, dan menggantikan tanggung jawab dengan kepentingan. Dunia menjadi makmur, tetapi kehilangan keseimbangan batinnya.
Negara-negara tumbuh secara material, namun rapuh secara moral. Ketika aku mendengarnya berbicara, aku teringat pada wajah-wajah rakyat di negeri sendiri - para petani yang masih menunggu harga yang adil, nelayan yang menantang ombak tanpa jaminan, anak-anak yang bermimpi di ruang kelas sederhana. Sachs berbicara tentang Amerika, tetapi gema pesannya terasa begitu Indonesia. Bahwa pembangunan sejati bukanlah soal berapa cepat kita tumbuh, tetapi seberapa dalam kita menanam nilai kemanusiaan dalam pertumbuhan itu.
Dan di titik itu aku teringat pada cita-cita besar bangsa kita hari ini. Pemerintah tengah menapaki agenda transformasi besar di bawah visi Asta Cita - membangun ketahanan ekonomi, memperkuat industrialisasi, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Sebuah visi yang sesungguhnya tak jauh dari pesan Sachs: bahwa ekonomi tak boleh berhenti pada angka, tetapi harus sampai pada makna. Bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal menciptakan pertumbuhan, melainkan menegakkan keadilan.
Namun, seperti yang dikatakan Sachs, setiap peradaban menuntut ongkos. Ongkos peradaban bukanlah biaya yang dapat dihitung oleh lembaga statistik, melainkan keberanian moral untuk berubah.
Ia menuntut kita meninggalkan cara lama yang pragmatis - cara yang cepat, instan, tapi sering mengorbankan nilai. Ia menuntut tata kelola yang bersih, keadilan sosial yang nyata, dan kesediaan pemimpin untuk berjalan di depan, bukan sekadar berdiri di atas.
Pemerintahan hari ini memahami bahwa kemajuan tidak bisa hanya diukur dari produk domestik bruto, tetapi dari kesejahteraan rakyat yang merata. Dari seberapa kuat industri lokal berdiri, seberapa luas kesempatan kerja terbuka, dan seberapa besar rakyat menjadi bagian dari sentra kuasa ekonomi - bukan sekadar penonton di pinggiran pembangunan.
Dalam konteks ini, The Price of Civilization seolah menjadi cermin bagi perjalanan bangsa kita. Indonesia sedang membayar ongkos peradabannya: membangun infrastruktur dari desa ke kota, menata kembali rantai industri, memperkuat koperasi dan UMKM, mengembalikan martabat pangan, serta menyiapkan generasi emas yang tangguh dan terdidik.
Tapi ongkos yang lebih besar adalah ongkos integritas - bagaimana memastikan semua itu berjalan dengan kejujuran, empati, dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan.
Saya teringat pada satu kalimat Sachs yang menggema lama: "A civilized society is not measured by its wealth, but by the fairness of its institutions and the compassion of its citizens." Inilah pelajaran penting bagi bangsa yang sedang tumbuh: bahwa kesejahteraan tanpa keadilan hanya akan melahirkan kerapuhan baru. Pembangunan bangsa bukanlah sprint, melainkan maraton peradaban.
Kita tidak hanya sedang membangun jalan, pelabuhan, dan jembatan--kita sedang membangun manusia Indonesia. Membangun kepercayaan, membangun etos kerja, membangun semangat gotong royong di tengah arus globalisasi yang kian individualistik.
Sachs mengingatkan, dan saya menyepakatinya: peradaban yang kokoh tidak lahir dari pasar yang bebas, tapi dari masyarakat yang peduli. Dan dalam perjalanan kita menuju Indonesia Emas 2045, kepedulian itu harus menjadi pusat gravitasi pembangunan.
Ongkos peradaban memang mahal. Tapi jauh lebih mahal jika kita memilih untuk tidak membayarnya. Sebab tanpa membayar ongkos itu--dengan integritas, kesabaran, dan keberanian moral--kita hanya akan membangun kemajuan yang hampa, gedung-gedung tinggi yang berdiri di atas dasar yang rapuh.
Ketika pertemuan itu usai, aku menatap Sachs dan teringat wajah-wajah rakyat yang menaruh harapan pada arah pembangunan bangsa ini. Di senyum mereka, aku melihat makna sesungguhnya dari ekonomi: bukan sekadar keseimbangan pasar, melainkan keseimbangan jiwa.
Maka di sanalah inti dari ongkos peradaban - sebuah kesadaran bahwa pembangunan bangsa sejati tidak hanya menghitung untung rugi, tetapi menimbang nurani. Bahwa kemajuan Indonesia tidak akan ditentukan oleh seberapa besar anggaran kita keluarkan, melainkan seberapa luhur nilai yang kita pegang.
Karena di ujung segala statistik, pembangunan, dan kebijakan, tujuan akhirnya hanyalah satu: menjadikan Indonesia bukan sekadar negara yang maju, tetapi bangsa yang beradab.
Fithra Faisal Hastiadi, Ph.D. Ekonom Senior, Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan.
Tonton juga Video Macron Kagum dengan Candi Borobudur: Saksi Besarnya Peradaban Ini
(rdp/tor)