Istilah abdi muda pada judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah akun media sosial Instagram yang bernama @abdimuda_id. Satu dari sekian akun yang dinisiasi oleh para ASN muda yang gemar berbagi pengetahuan dan kegelisahan tentang situasi birokrasi di Indonesia.
Per Juli 2025, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) mencapai 5,2 juta (Badan Kepegawaian Negara, 2025). Sekitar 3,5 juta (68%) diantaranya adalah generasi muda, yang terdiri dari 2,9 juta generasi Y (millenial) dan 600 ribu generasi Z.
Sebagaimana generasi muda pada umumnya, mereka memiliki karakteristik dan ekspektasi tertentu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Generasi ini lahir setelah tahun 1980 yang secara alami fasih (fluent) dalam menggunakan teknologi digital (Johnson dan Finn, 2017). Mereka seringkali disebut sebagai kelompok pribumi digital (digital native) sebagai lawan dari imigran digital (digital immigrant) (Prensky, 2001).
Karenanya, generasi ini terpapar informasi dengan sangat cepat, terutama melalui kanal-kanal digital. Laporan dari The Cambridge Centre for the Future of Democracy (2020) menyebutkan bahwa generasi ini eksis dengan membawa ketidakpuasan terhadap kinerja demokrasi.
Ketidakpuasan yang bersumber dari adanya ketimpangan sosial-ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran di kalangan generasi muda. Karena itu, mereka peduli dengan isu-isu tentang ketimpangan (inequality), kesehatan mental, dan keadilan sosial (IDN Research Institute, 2024).
Di beberapa negara, seperti Nepal, Maroko, Madagaskar, dan Peru, anak-anak muda berbagi kegelisahan yang sama dan menuntut perbaikan atas kondisi sosial-ekonomi demi masa depan mereka.
Realitas yang dihadapi
Dalam konteks yang seperti itu, generasi ini memiliki ekspektasi tinggi atas sebuah lingkungan kerja. Mereka menginginkan gaji yang layak, lingkungan kerja yang tidak toxic, serta kesempatan untuk pengembangan karier dan peningkatan kompetensi.
Namun, realitas berkata lain. Jajak pendapat oleh Jakpat (2024), menemukan bahwa 3 dari 10 Gen Z hanya bertahan 1-2 tahun untuk bekerja di tempat yang sama. Karena itu, muncul istilah "kutu loncat" (job hopping) bagi generasi muda yang gemar berpindah-pindah pekerjaan.
Di birokrasi, terdapat fenomena prevalensi gangguan mental pada ASN karena tuntutan/beban kerja berlebihan dan peralatan yang tidak memadai sehingga dapat memperburuk kinerja dan pelayanan publik (Saiful Maarif, Kompas 08/08/2025).
Realitas itu tidak hanya berdampak pada karir generasi muda ASN tetapi juga membentuk pandangan mereka terhadap isu-isu sosial kemasyarakatan. Hambatan struktural di birokrasi sering kali dianggap sebagai cermin dari masalah nasional yang lebih luas.
Berbagai akun di media sosial yang diiniasi oleh ASN muda sudah banyak menyuarakan keluh kesah atas kondisi-kondisi tersebut. Suara-suara tersebut menginginkan perbaikan, baik di internal maupun eksternal yang dapat menjawab kegamangan mereka ketika berhadapan dengan berbagai peristiwa sosial politik dan ekonomi akhir-akhir ini.
Poros Perubahan
Berhadapan dengan perubahan lanskap dan persoalan-persoalan tersebut maka sudah seharusnya generasi muda ASN menjadi poros (pivot) perubahan dari apa dan bagaimana seharusnya birokrasi bekerja. Terdapat tiga hal utama yang seyogyanya perlu didorong bersama-sama oleh para pemangku kebijakan.
Pertama, penguatan prinsip meritokrasi. Perlu ada perbaikan lingkungan kerja agar mendukung pengembangan karier dan peningkatan kompetensi generasi muda ASN. Sistem reward and punishment yang adil harus menjadi dasar pengelolaan kinerja dan promosi.
ASN muda yang berprestasi dan memiliki rekam jejak baik harus diprioritaskan untuk mendapatkan kesempatan pengembangan ketrampilan dan promosi jabatan sehingga menciptakan ekosistem kerja yang atraktif bagi generasi Y dan Z.
Kedua, penguatan otonomi birokrasi. Birokrasi harus dipahami sebagai pilar demokrasi yang berlandaskan dasar negara dan konstitusi. Pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam pelatihan ASN dan pelayanan publik menjadi langkah penting untuk menginternalisasi loyalitas ASN kepada negara dan ideologi nasional.
Birokrasi tidak hanya harus netral secara politik, tetapi juga berorientasi pada kepentingan umum (Nabatchi et al., 2011). Sistem administrasi publik beserta birokrasi di dalamnya menjadi prasyarat dalam demokrasi substantif.
Ketiga, penguatan partisipasi masyarakat. ASN harus membangun dialog dengan masyarakat. Peran ASN tidak hanya melaksanakan (delivering) kebijakan tetapi juga menyediakan ruang deliberatif yang memberdayakan (empowering) bagi warga negara (James, 2025).
Birokrasi yang memberdayakan akan memungkinkan masyarakat mengakses layanan esensial dengan mudah, sekaligus mengawal (guarding) agar kebijakan publik diselenggarakan secara berkeadilan sesuai prinsip demokrasi dan tata kelola yang baik (Yesilkagit et al., 2024).
Ketiga hal tersebut akan menentukan wajah birokrasi di tengah perubahan demografi ASN dan dinamika demokrasi. Birokrasi harus siap dalam menghadapi gelombang ASN muda dengan pola pikir dan ekspektasi yang berbeda. Hanya dengan cara yang demikian maka birokrasi dapat bertransformasi menjadi pilar demokrasi, bukan sekadar pelaksana prosedur administrasi
Husni Rohman. Perencana Ahli Madya, Kementerian PPN/Bappenas.
Simak juga Video Pesan Prabowo ke Pemuda Indonesia: Jangan Takut Gagal











































